BAB 47: SELAMAT TINGGAL

423 63 9
                                    

Satu bulan itu telah berlalu, dia mengurung diri di kamar menguncinya rapat dan keluar saat perutnya demo. Tapi, itu pun jarang. Langit kadang menahannya hingga terbiasa.

Wajahnya masih manis. Tapi pribadinya terubah menjadi sinis, dingin, dan misterius. Itulah Langit sekarang.

Langit menkancingkan kerah bajunya berdiri di depan cermin.

Dia merhatikan wajahnya yang agak aneh. Sedikit tirus dan ... pipi kanannya ada benjol merah matang menyebalkan.

Jerawat.

Jari-jarinya hendak memencet namun tak jadi takut bopeng dikemudian hari. Langit berdecak.

Kulitnya putih pasi tak segar. Kantung matanya sayup panda. Bibir cherry ranum berganti kering dehidrasi. Rambut congkak-cangkik tak tersentuh shampo atau disisir, dibiarkan basah menunggu kering.

Langit tak semanis dulu.

Langit di sofa menonton kosong pada tayangan televisi memajang serial spongebob.

Wati kian terpukul akan masygul putranya yang lama betah diposisi itu.

"Makan dulu, ya," ucap Wati meletakan piring di meja.

Tak sedikit pun Langit menolehnya, dia menggeser piringnya ke kanan menolak.

Ibunya merebut remote dari Langit namun dia mencekeram remote-nya kuat. Wati bergegas mematikan televisinya mencabut kabel dari saklar.

"Makan dulu," Wati bersuara rendah.

Langit diam membisu. Telinganya mendadak tuli sebulan.

Wati mengusap punggung putranya yang terdiam. Sungguh miris, Wati merasakan tulang punggung Langit amat terasa ditelapak tangan. Langit memang berubah. Sebulan membuatnya kurus dadakan.

Dia tak menyantap atau menghabiskan sarapan dan itu pun hanya sedikit hanya dua suap dan tak di lanjut makan siang atau makan malam. Dia akan mengurung didalam kamar dikunci amat rapat.

"Mamah khawatir, kenapa?" Wati sumarah. 

"Siapa Langit?" Langit bergumam hilang raga.

Wati terperangah menatapnya tak paham. Langit kerasukan atau ada yang jahil?

"Makan dulu, Mamah udah bikinin tumis kangkung kesukaan Langit,"

Langit menggerakan bola matanya ke bawah pada piring yang dia geser tadi.

Wati memegang piringnya mengambil sesendok untuk Langit namun Langit menolak. Dia mengambilnya sendiri. Langit melahapnya satu kali lalu mengunyah amat lama seperti memakan benda keras sulit untuk hancur. Padahal itu hanya tumis kangkung dengan nasi.

....

Gio memandang layar gawai menuju perpesan whatsApp, terpatri isi chattingan dari Langit sejak liburan di gunung. Gio menunduk kepala memandang layar gawai lekat. Gio duduk di atas kasur seorang diri bercahaya dari jendela kamar masuk ke dalam.

Gio mengarahkan jemarinya pada kolom pesan hendak mengetik.

'Beb,'

Itulah kata untuk Langit. Gio senyum getir. Dia melihat pesan Langit dari status bar aktif satu bulan lalu.

Langit benar-benar tak mengaktifkan pesannya atau gawai tak diaktifkan sengaja? Itu sejak dia bertemu di batu waktu lalu.

Gio mengetuk ikon telepon merapatkannya pada telinga.

Suara 'tuttt' beberapa kali berdengung lalu hilang.

Gio mencoba meneleponnya kembali namun jawaban yang dia dengar sama saja.

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang