BAB 85: BERBEDA

308 39 2
                                    

Sore pukul empat lewat empat puluh lima menit. Kecibak air keran menghujam bata dari bak semen. Air membasuh jari tangan yang belang terlabut sarung tangan terlalu lama. Pergelangan lengan berubah sawo matang beda dengan punggung tangan yang putih.

Air dicangku oleh kedua tangan lalu dibasuh ke muka didiamkan beberapa saat merasakan segar air dingin. Air surut dari wajah jatuh menuruni lengan. Langit memejam mata lalu membuka lagi membuka pelupuk matanya.

Redum. Langit mendung tak cerah ditutup awan. Putih keabuan terhampar dilautan atas.

"Pulang, ya." seruan dari belakang lima orang pria umurnya empat puluhan.

Cangkul dipikul di bahu juga peralatan lain diangkat dari mobil pick up. Mobil terakhir masuk pelataran. Baknya kosong tak tersisa sampah lagi.

Ramai. Orang-orang meregangkan ototnya habis menyerahkan segala tenaga berkutat dengan cangkul menggerus sampah. Dari pukul delapan pagi hingga pukul empat petang. Tawa juga seru riang tak hirap mengisi pelataran.

Ada yang sudah bersih berbusana rapi dibungkus jaket. Seruan juga tawaan kala bapak-bapak main catur di saung kantor. Minum kopi dikucur dari keran galon ke dalam gelas. Kepulan uap asap kala galon dinyalakan.

Langit setengah membungkuk, dia masih di sana. Ya ... membersihkan wajah penuh kerja keras. Wajah itu, manis. Masih manis. Hanya saja berubah warna tak sebening kala lalu. Dia nampak maskulin sawo matang bikin terpukau jika dilirik orang asing.

Basuhan air masih dia cangku disapu kewajah beberapa kali. Wajah hilang binar kini terlihat lagi. Sebuah senyum merekah lagi. Air berjatuhan dari alis yang tersangkut. Wajahnya basah. Langit duduk di dinding bak. Dia melepas sepatu boot-nya. Kaki telah keluar dari sarang itu setelah terbungkus keresek hitam agar tak lecet dalam waktu lama di keadaan sempit.

Langit basuh kaki itu oleh air keran tadi. Bersih. Langit menjeremba tas yang menggantung dipaku saung kantor. Tinggi bikin kakinya menjinjit.

Langit tarik resleting diambilnya kaos juga celana jeans hitam. Dia akan berganti kostum.

Deras bukan hujan. Itu hanya air diguyur dari gayung. Menggema di sebuah gubung berdinding bilah bambu anyam. Langit di dalam dia mengguyur kepalanya oleh air gayung. Tubuh putih tak tersentuh bagaskara. Kini semuanya terpamer. Badannya spa pucat namun lengannya belang juga wajahnya sawo matang tak ditanya soal leher. Berlapis cokelat.

Langit gosok sabun ketubuh bikin busanya mengembang melumat tiap inci badan itu. Bunyi guyuran dari gayung terdengar lagi. Suara mesin menarik air dari sumur terlantun kala baskom besar tak terisi air. Secara otomatis mesin mengerek air sumur lalu keluar dari lubang paralon mengisi baskom itu.

Langit bersih juga wangi. Dia jongkok di lantai semen. Dia tatap layu akan capai menuju sumur yang pinggirannya ditumbuhi rumput juga lumut.

Air didalam setengah mengisi sumur tak dalam itu. Subur. Berning juga bersih.

Satu-satu pakaian membungkus badan. Tinggal celana dia pakai. Rambut basah ditaruh handuk lalu digerakan agar kering sembari memandang bayang diri di cermin yang menempel ke dinding bilah bambu.

"Langit, aku tunggu ya, di gerbang." suara Bayu di luar mengetuk pintu.

"Duluan aja. Aku mau santai dulu, Yu." tolaknya.

"Yaudah, aku duluan ya. Pulang jangan kemalaman Ngit, entar diculik hehe." kelakar Bayu berhasil menarik sudut bibir Langit untuk ketawa.

Suara seruan itu tak dengar lagi dibarengi suara motor di gerbang. Ditebak jika itu motor Bayu.

Langit di dalam. Rambutnya kini tetata rapi dibikin agak aut-autan agar tak kesan culun. Langit berlagak sok ganteng dengan menarik sudut bibir menyeringai lalu mengerjap mata kenes.

Garis Langit [BL]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz