EXTRA CHAPTER

1.8K 85 38
                                    

LANGIT tahu ini sulit. Perasaan bimbang dengan keadaan yang tak semestinya sesuai wacana otak. Bimbang dengan keadaan buruk yang kian lama makin menjadi-jadi. Bimbang dengan kehidupan yang bikin muak untuk berdiri melanjutkan sebuah kisah dari Langit.

Semua itu kacau memburuk seperti badai angin tak kunjung reda karena marah. Membabi buta pada apa yang ia lewati tak akan reda kalau dia telah memberi kedamaian. Kenapa harus memburuk seperti kayu terbakar menyisakan abu hitam pekatnya yang hanya menyisakan kegelapan pada orang yang menyentuhnya. Tak akan bersih lagi.

Langit tahu itu. Keresahan dan kegeraman pada diri itu pasti. Selalu hadir tak akan absen. Ia tahu dan terpikir sejak ceritanya dimulai. Berteriak tak apa, hanya dia dan alam yang mendengar. Tak ada orang di sini selain ia dan setengah senja di batu pipih seperti lalu—duduk merinkuk menatap langit keorenan itu yang elok. Begitu saujana sawahnya yang hijau oleh daun yang sama-sama tergerak seperti ombak laut. Menampar begitu kuat yang tak lain hanya berusaha mengeringkan bekas air di pipi remaja itu di batu.

Tak ada yang lain, pria itu pergi. Pria itu yang menghalanginya saat ia berbaring di tengah panasnya. Meneduhinya oleh badan bikin dia berdecak sebal ingin rasanya menikmati panas seperti turis di pantai.

Sendiri itu tak enak apalagi di momen kacau. Tak ada hiburan kah? Ke mana orang itu?

Dia tak ada. Tak akan pernah datang lagi mungkin? Karena ini keputusan bulat yang ia lakukan untuk menjadi Langit yang baru.

Desri, wanita itu yang anggun.

Langit tertawa tertahan kali ini. Dengan menahan rasa komedi dan sesak ketika ia diputus olehnya.

Plin-plan.

Langit memalingkan wajahnya ke sisi. Merasa sebal dengan keadaan dirinya yang begitu tak mengerti.

"Gio ...," ucap pelannya begitu halus. Tatapannya lurus memberinya pelumas membuatnya seperti kesalahan yang dalam.

Itu telah terjadi.

"Aku ingin dia satu orang lalu kita samaan ..." Langit meneteskan air matanya. Suaranya jadi tertahan diiringi bibirnya gemetar.

"Gio ...," ucapnya pelan. "Kamu menang," lanjutnya senyum kesedihan dengan air mata menurun.

Dingin begitu menusuk juga begitu menusuk dengan masalahnya yang pelik. Ini kesalahan fatal yang ia hadapi.

Setengah jam itu berlalu ia masih betah di batu itu. Hanya berteman petromak yang menguar cahaya remang begitu tenang tak ketakutan.

"Pengen cokelat. Biar aku enggak kelaperan," ucapnya pelan lagi. Kini air mata itu tak turun. Pipinya tak basah lagi. Wajahnya terpancar kesenangan yang bohong seakan baik-baik saja.

"Mau kamu galau sebegitu beratnya juga enggak akan berhasil bikin semuanya balik lagi."

Langit terkaget namun tidak bikin ia terbangun. Ia hapal suaranya maka itu ia hanya diam mendebarkan jantungnya karena ayahnya datang begitu tetiba.

"Siapa yang galau," kata Langit berakting menyebalkan pada tuduhan ayahnya yang duduk di sisi seperti dirinya. Nurojat melihat putra bungsunya yang sudah besar. Ia melihatnya begitu bahagia namun tatapan mata lemahnya mengisyarat sesuatu yang tersimpan dalam akan tahu soal kesedihan putranya.

Garis Langit [BL]Where stories live. Discover now