BAB 80: KELULUSAN

427 55 19
                                    

Kisah ini setengah usai, terutama aktivitas sekolah. Hari kemenangan. Hari terakhir bertemu dengan sahabat. Bertemu di satu gedung dengan tampil istimewa. 

Semuanya berpakaian rapi, tampan dan cantik. Berbalut kebaya dan polesan make up seperti kondangan saling berkumpul di pelataran sebuah gedung aula yang terhias bunga dan background 'Happy Graduation' mereka kumpul seraya bergelak tawa mengacung gawai ber-selfie bermacam gaya.

Laki-laki tak luput dari itu. Tak berseragam putih abu. Kini berbalut setelan jas hitam juga sepatu mengkilat. Mereka berkumpul di pelataran saling berwafoto mengambil momen terakhir bertemu teman.

Kamar tak asing dan burung kenari sedang bertengger di bahu seseorang tengah berdiri menghadap cermin. Pria tampan. Jas hitam juga dasi di dada. Kemeja putih daleman, juga sepatu mengkilat telah disemir berulang kali.

Raut itu, tak ada senang. Datar juga tak sedap dipandang. Murung juga lara. Tahu jika ini adalah hari tetakhir bertemu teman namun rautnya beda. Masygul. Harusnya dia hapus wajah itu untuk hari ini meski seharmal barangkali.

Sepatu hitam juga mengkilat memijak perdana lantai keramik menuju ruang tamu. Ruang itu mengusir suara kanal televisi. Langit telah siap dengan busana itu. Wati bersibuk diri menjahit baju oleh jarum dan benang di sofa fokus memandang televisi lalu berlaih pada jarum menembus kain.

"Aku berangkat dulu." sungkem Langit jongkok di lantai.

Wati berfokus pada televisi juga pada kain yang sedang beliau jahit. Tak ada sahutan seakan Langit itu hantu tak berwujud.

"Pulang jangan kemalaman. Ibu sendiri." tak pandang putranya yang akan pergi.

Wati mengulurkan pungung tangannya pada Langit. Dikecup hangat oleh bibir putranya.

Langit menyinsing jalan hendak berangkat. Celana hitam terasa bergetar saat gawai ditaruh disaku. Langit rogoh juga mengangkatnya.

"Jangan dulu pergi, ya. Gio jemput dari motor ke rumah kamu."

"Iya Bu. Langit tunggu ya, di tepi jalan."

Langit menunggu seseorang sesuai arahan. Mengipas wajahnya karena gerah juga badannya mulai peluh  Langit tak suka. Tak suka menunggu orang yang lama. Ditinggal bersama peluh kuyup.

Lakson motor menyapa Langit.  Motor yang acap Langit tumpangi  dan sudah lama dia tak naik itu. Langit terpaku matanya terbengong.

Suara lakson berbunyi. Bikin Langit setengah terperanjat akan lamunan. Langit duduk di jok belakang dengan riang.

Gio bikin Langit menelan airnya liurnya pelan. Tampan. Dia mirip seorang mempelai pria yang hendak melangsungkan pernikahan. Jas abu juga celananya abu. Dasi pita rambutnya kelimis. Berbeda dengan Langit kesannya manis khas dia. Langit memberikan efek gelombang dirambutnya tidak dibikin klimis takut terlihat culun.

Motor memacu pelan menyusur jalanan aspal ke gedung wisuda.

Hening hanya suara motor juga mobil disisi saling menyahut oleh lakson. Gio fokus menyetir lalu Langit diam menonton mobil berlalu lalang di sisi.

"Kamu manis. Aku suka." puji Gio terlontar.

Langit senyum menerima pujian itu. Pipinya merona jambu.

"Kamu juga, gagah." balas Langit.

Suasana mulai mengerna. Gio menyetir hening mulai mengukir senyum, begitu pula dengan Langit yang senyam-senyum riang. Gio bisa tonton lewat kaca spion memergoki wajah riang Langit.

Ban tergoncang menggilas polisi tidur bikin gelak tawa keduanya pecah. Keduanya ketawa, hilang, tersambung lagi saat ban tak menggilas polisi tidur.

Garis Langit [BL]Where stories live. Discover now