BAB 62: DUA TERJALIN

277 40 3
                                    

"Rumahku bukan di sini. Aku ke sini untuk melihat kebun. Takut diambil orang." dialog Resti berselonjor kaki di bukit tadi bersama Langit.

"Di mana rumah kamu?"

"Di Jombang,"

Langit menganguk paham.

Resti merebah diri di rumput halus telentang menghadap langit redum tak menyilau mata.

"Jauh." timpal Langit.

"Enggak. Deket kok. Kalau jauh, mana mungkin aku bolak-balik ke sana. Dan jangan ngerasa jauh, kita udah sama-sama. " Resti senyum.

Langit nganguk paham meski sekadar guyonan.

Resti terpejam menikmati angin. Langit merhatikan Resti begitu lekat. Bola matanya turun menuju bongkahan itu. Langit penasaran.

Langit mendekat diri, mendekat bibirnya ke bibir ranum Resti yang merah alami.

Sebuah kecupan mendarat di dahi Resti membekas basah di sana. Resti membuka bibir setengah lalu membuka matanya sayu saat benda basah itu mengenai dahinya. Dia melihat jarak Langit amat dekat. Langit senyum lalu Resti pun begitu, membalas senyuman manis itu oleh senyum perasaan.

"Makasih," bisik Langit.

"Soal?"

"Jadi ... pacar." Langit ragu-ragu.

Resti mendekap Langit seraya terpejam hal itu disertai angin membelai gelagah lagi. Mega redum terhampar di langit. Panasnya matahari juga telah ditutup olehnya. Oleh mega putih juga ada keabuan. Bukan mau hujan, melainkan memberi rehat pada orang yang di bawahnya. Juga orang yang berkutat kelantang di bawah terik matahari menggendong keranjang terisi daun teh.

Ban sepeda menggilas jalan aspal, suara nyanyian melantun di sepanjang itu. Kaki mulus mengayuh pedal, ritmenya akan berplesir. Langit di belakang di jok kedua, dia duduk juga mengayuh. Kala itu jalan lengang tapi juga ada yang berlewat satu motor roda tiga di pick up penuh karung, kelapa, dan jagung.

Jalan aspal juga hitam legam tak berlubang. Mulus juga tercium bau itu. Bau aspal asli tertusuk matahari. Jalannya bersih bukan disapu melainkan oleh hujan yang turun.

Jalan menikung lalu lurus. Pohon pinus berjejer di tepian bersambung suara tonggeret juga burung saling bersahut di alam itu. Angin pun tak absen terus menggoyah daun pinus lalu menyembur sejuk. Angin itu membelai dua insan di bawah sana yang sedang memadu dengan sepeda.

Perbukitan memiring dan dipenuhi kebun teh sana-sini. Bukit dipenuhi rumput halus seperti taman. Jalan ini melewati itu. Pohon pinus melengkung ditinju angin hingga bikin dia jadi begitu. Daunnya setengah botak batangnya besar tak kuat dipotong. Sepeda berlabuh di tepian. Jalan lalu naik di batang pohon pinus yang melengkung.

Pohon itu menghadap bukit dengan rumput seperti taman. Saung ada di sana di pinggiran juga setitik orang sedang menarik benang di tangan. Sebuah layang-layang mengapung di langit. Seorang bocah antusias bermain itu meski seorang diri.

Tenang juga lengang. Resti pelan menaruh kepalanya ke tengkuk Langit. Langit membelai Surai hitamnya. Surai itu hitam juga lembut. Beberapa kali terbelai angin.

"Ayo!" ajakan memberi semangat pada Langit yang lemah.

"Capee," keluh Langit saat kakinya tak kuat lagi memijak rumput bukit. Terlalu menanjak.

Resti berantusias. Wajah mulus itu tak memercik peluh. Hanya lembab. Banding Langit yang badannya berpeluh akan mandi.

Resti berjongkok di depan Langit. Langit mengalungkan tangannya di leher Resti.

Garis Langit [BL]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz