BAB 72: MEMBEKAS

230 38 3
                                    

"Lu ke mana aja!" bentak penuh kecemasan Kinan saat Langit jalan tak acuh. Dia terhenti membelakangi Kinan. Rupanya dia akan pulang.

Suara sepatu mengentak lantai lalu badan diputar paksa menghadap orang di belakang itu.

Kinan tak menghujam Langit oleh kata tak ramah tadi. Wajah kesal tentu menunggu lama ingin marah pada orang itu namun ... tiba-tiba sirna.

"Makasih," Langit masih bisa mengukir senyum.

Kinan terdiam tatapan matanya pada pelipis Langit. Memar.

"Gue obatin!"

Langit menggeleng kepala lekas hendak jalan namun Kinan merangkul tangannya.

"Siapa yang bikin ini?" interogerasi Kinan wajahnya benar-benar khawatir.

"Ransel aku di mana?" Langit mengalihkan dengan lirik kanan kiri kala di UKS.

Kinan pegang rahang Langit agar berhenti melirik ke segala arah.

"Kenapa kamu ilang?"

"Aku ketiduran. Terus aku kejato-"

"Ngeles!" ketus Kinan seraya mengobatinya.

Tak ada perdebatan lagi. Semuanya usai. Keduanya berpisah di gerbang sekolah. Kinan di telepon oleh kakaknya yang sudah menjemput di motor. Kinan tak pandang Langit sebagai perpisahan. Kinan menunduk kepala menatap kedepan di jok motor.

Langit jalan di tepian. Kala itu sore pukul tiga lewat empat puluh lima menit, suasana jalan terasa ramai tentu pulang kerja. Langit di trotoar berjejer bendera itu. Sekolah Raga.

Seseorang. Wanita. Dia berseragam putih abu. Dia sibuk menelepon sembari berdiri ditepi jalan. Langit tahu siapa dia. Dia pura-pura tak kenal dengan jalan melewatinya.

"Langit?" Langit kalah cepat.

Suara sepatu melangkah.

Langit menaikan jalannya meninggalkan suara gadis yang menyapanya.

"Makasih," ucap Langit segera menutupi pelipis kanan oleh stiker saat berlabuh di warung tepi jalan.

Dia lepas bantalan kasa di pelipisnya, dibuang kesembarang tempat.

Jalan tak asing. Menanjak juga menikung sisinya sawah juga ada kerbau bermain lumpur. Sebuah rumah sederhana dari kayu di bukit sisinya kebun miring cabai juga sisinya lapang rumput.

"Langit," seru Resti dengan atas kepala oleh topi bambu, sepatu boot juga senyum itu menyambut kedatangan Langit dengan wajah seribu kebohongan akan ceria.

Keduanya jalan, jalan santai menyusur bukit miring oleh sepeda berplesir di jalan aspal. Langit menjadi supir dan Resti dibelakang merentangkan kedua tangan seraya bernyanyi. Tawa juga kelakar tak bisa dibancang. Keluar begitu saja oleh tawaan dari keduanya.

Resti menggandeng tangan Langit amat hangat saat membanting sepedanya dipinggir jalan mengajaknya ke tempat lalu saat main layang-layang di bukit. Resti terus senyum dan Langit pun demikian terasa jika lara telah hirap.

Layang-lyang menggerus langit dan diulur-tarik benangnya oleh Resti lalu beralih pada Langit yang suasananya jadi kacau. Resti terkekeh meledek juga menyemangati kekasihnya oleh tepukan tangan.

Galah mengancung tatkala layangan menyangkut di pohon nangka yang tingginya tiga hingga lima meteran. Berada di puncak. Resti menarik benangnya dan Langit mengakali oleh galah dari turus.

"Semangat!" Resti di belakang.

Langit pegal. Dia mengap-mengap terasa usahanya gagal.

Keduanaya gagal. Layang-layang itu enggan lepas berdiam di puncak daun. Benangnya putus Resti tak peduli lagi.

Garis Langit [BL]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن