BAB 29: DASTER

634 86 3
                                    

Denting jam terlantun di kamar Langit. Denting per detik itu terdengar tenang tanpa merasa terganggu akan tidurnya si empu rumah.

Kasur busa satu orang terlihat besar untuk dua orang pemuda yang sedang tidur bersama di tempat itu.

Langit memejam mata disusul embusan napas tenang. Dia memposisikan tubuhnya menyamping dengan kepala ditahan telapak tangan merhatikan Langit tidur seperti bayi.

Gio melengkung senyum. Tak pernah dia melihat pujaan hatinya tidur di sebelahnya. Biasanya hanya halu sebelum jadian waktu lalu. Tapi, sekarang semua itu terwujud. Semuanya terlaksana. Ujung telunjuk Gio mengarah pada batang hidung Langit, mengelusnya pelan dari pangkal hingga ujung cuping.

Langit sesekali menggeliat dan mengumam. Gio tertawa kecil. Langit yang telentang merubah posisi tidurnya menyamping padamya, memberi kesempatan memandangi wajah Langit yang manis.

Gio mengurun niat memuji lebih ke miris saat memar di pipi Langit bersemayam. Meski bekasnya kian pudar namun masih terlihat kehijauan juga biru tak sedap dipandang.

Langit menggigil sekilas karena tak ada benang yang menutupi badan, sementara Gio yang terbiasa tidur tanpa baju biasa saja. Dia tersanga  memakaikan kaus mirip daster yang tergolek di atas meja ke badan Langit amat pelan agar dia tak keganggu.

Langit melenguh sesekali seraya terpejam. Dia telah terbungkus kaus sekarang. Gio menarik selimutnya menutupi sebahu seraya merapat diri lebih rapat.

"Siapa pun yang melakukannya aku akan mengahabisinya." gumam Gio tentu sebuah ancaman.

Kelopak mata Gio menurun pelan, lalu terpejam.

"Senyum kecut. Senyum getir. Senyum merekah. Entah berapa kali aku melakukan drama itu, tiada yang tahu internal yang kupunya jauh beribu kilometer." bisiknya.

Gio mengalungkan lengannya ke pinggang Langit, mendekapnya hangat.

***

Langit di koridor sekolah menuju kelas. Dia mengenakkan masker untuk menutupi pipinya habis ditinju malam kemarin.

Dia jalan tertatih kendati bagian lututnya terasa bergeser. Itu menyakitkan. Bagian itu paling sensitif dan menimbulkan efek trauma jika cedera.

Tiga sahabatnya yang selalu menemaninya kala senang atau sedih. Mereka berkumpul dimasing-masing bangku, tertawa juga mengobrol riang.

Langit menggendong ransel tiba di dalam kelas menatap sekilas pada sosok yang membuatnya babak belur seperti ini. Anwar, bersama Bagas. Keduanya mengobrol ditemani tawaan. Suara yang mengejek daster di toilet adalah dirinya, tentu. Langit tak acuh. Dia pura-pura tak lihat tapi melihat sepersekian detik, Anwar tetap saja lebih dulu menatapnya dari kejauhan saat Langit tiba di ambang pintu.

Langit duduk di bangkunya tenang tanpa sapaan.

Raka frontal menepuk bahu Langit tanpa tahu bikin meringis sakit. Bagian itu seperti terkilir.

"Kamu kenapa?"  Raka terheran.

"Ngit, pake master segala, sakit?" Kinan ikut terheran.

Langit berseru gugup membalasnya hanya menggelengkan kepala. "Lagi flu. Jangan deket-deket entar lu keinfeksi!" imbuh Langit.

Raka tawa kecil lalu bertaut alis pada punggung tangan Langit yang terlihat baruh.

"Ngit, kamu kenapa?" Raka memegang punggung tangan Langit, meniliknya. Sekejap Langit menariknya kembali meski terasa ngilu.

"Dicakar kucing!"

....

Latihan setelah pulang sekolah terulang kembali. Latihan kedua. Latihan kali ini santai tanpa cekatan karena memang mereka sudah terlatih. Tak perlu banyak tanya atau kikuk saat berlatih. Itu sudah biasa. Bukan pertama kali Langit ikut lomba, dia sudah mengikutinya lima kali. Timnya selalu juara, pulang dengan membawa tampuk keemasan terpajang di lemari kaca sekolah.

Garis Langit [BL]Where stories live. Discover now