BAB 22: MALAM KEDUA

938 107 3
                                    

Dia duduk di batang pohon yang sudah dibelah mengadap jalan raya berlalu-lalang mobil. Sebuah pohon mangga berukuran sedang kiranya empat meteran rimbun daun di belakang Langit. Dia termenung menunggu seseorang yang entah siapa dia tunggu. Mungkin sedang menunggu seseorang yang memberikan kebahagiaan hatinya yang suram.

Duduk seorang diri di bahu jalan dengan di belakang sebuah pohon mangga terlihat horor bagi sebagian orang. Langit anteng tanpa merasa terusik aura kemistisan. Langit tenang sesekali mendongak pada lampu mobil yang berlalu melewatinya.

Aspal hitam menyiprat air bekas hujan dari ban yang memutar sebuah mobil. Lampu sorot tajam pada aspal jalan yang basah. Hawa dingin dan tentu suasana beda dari alam sekitar mulai terasa. Hanya saja Langit tak mengubris. Sepertinya dia tak peduli. Pun ada, dia akan mengajaknya berbual mengisi hatinya yang kosong.

Tukang bubur kacang hangat kebetulan mengarah ke Langit. Seorang penjual bubur dipikul oleh pria kiranya 40-an. Langit menoleh sejenak sekejap menegakkan tubuhnya. Saat pandangan bubur kacang hangat tepat di sampingnya.

"Bang, bubur kacangnya," pinta Langit.

Si Abang menganguk, menurunkan pikul dagangnya di bahu jalan mulai menyiapkan pesanan Langit.

Langit menunggu pesanan sedang dibuat. Langit merogoh gawai mengetuk sebuah nama di whatsApp, nama belang berganti menjadi 'BF' bukan boyfriend melainkan belang forever.

"Pesennya dua, ya, Bang." pintanya.

Dua bubur kacang hangat diwadah kap mengepul asap aroma kacang yang lezat. Langit menyantapnya dengan tenang melahap roti tawar dicampur bubur kacang seraya menunggu si belang hadir namun tak kunjung datang.

Langit beberapa kali menengok ponselnya dari pesan chat Gio ternyata tak terbalas. Langit menunggunya hingga bubur kacangnya hampir habis, Gio tak datang.

"Permen kapasnya, a?" seru pria pada Langit seraya mengulurkan tiga kantong permen kapas. Pria itu agak menyembunyikan wajahnya oleh kupluk hoodie.

"Enggak minat," tolak Langit.

"Yang benar, a, murah loh bayarnya cuma cium pipi, kok."

Langit mendelik. "Maaf, Bang, meski saya suka harumanis, enggak akan lakuin itu, gila kali, ah. Emang saya ciwik apaan!" sungut Langit.

Gio terkekeh dangkal. "Kenapa atuh sendirian di sini, entar ada yang nemenin, loh."

"Lagi nunggu orang. Beli bubur kacang dua, malah kagak datang, sue!"

"Buat siapa?"

"Adalah."

"Pacar ya, a?"

"Lebih dari pacar.

"Siapa, a?"

"Kepo!"

"Sensi si Aa, daripada di sini mending ikut Aa, yuk!"

Langit terkesiap menatap sinis.

"Abang penculik, ya!"

"Aa suka sama kamu gimana atuh?"

Langit risi, dia beringsut tapi pantatnya sudah mentok di sudut kursi, jika bergeser satu kali lagi dia akan jatuh.

Langit bergidik. Beranikan diri dengan mendorong kupluk pria itu.

Dan...

"Haloo," Gio nyengir.

Langit sebal mengulurkan bubur kacang milik Gio yang dia belikan untuknya, Gio mengambilnya.

"Kenapa di sini?"

"Kenapa? Enggak boleh!"

"Hehe, enggak juga. Cuma ...," Gio mendekatkan bibirnya ke telinga Langit, "Katanya di sini ada penunggunya, loh."

Langit mendelik lalu lirik sekitar. Dia merasa badannya tak bisa bergerak merasa meremang di betis saat mendengar bisik Gio.

Prak!

Langit dengan ganteng menepak paha Gio hingga dia meringis.

"Jangan cerita gituan!"

Gio terkekeh. "Takit tayangg,"

Langit ngambek.

Gio tertunduk mulai menikmati bubur kacangnya.

Langit bangkit merasa jika dia merinding. Buru-buru menarik tangan Gio menuju tempat lain.

"Mau ke mana, Beb?"

Langit mendengkus. "Bebeb imut bebeb imut! Aku enggak suka! Panggil aja nama mudah, 'kan?!"

Gio cemberut. "Enggak romantis! Hambar rasanya kek bukan pacaran. Itu panggilan sayang, Markonah!"

Langit menggerutu tetap tak suka.

Gio mengacak-ngacak rambut Langit, dia gemas dengan pria satu ini. Langit beberapa kali menepis tangan nakalnya yang menurutnya itu memperlakukan dia seperti anak kecil.

"Kita mau ke mana?" tanya Langit.

"Tempat indah dengan seribu lampu kedip-kedip, di mana waktu dulu sang bumantara terisi bunga api dan kita menjalinkan dua cincin!"

Langit mendengkus, menyeringai tak suka dengan puitis Gio yang beberapa kali sering terucap. Membosankan. Tak paham.

Pasar malam dengan seribu kerinduan. Aroma tanah kering terbasuh air hujan tadi malam memunculkan semerbak petrikor.

Gio dan Langit menjelajahi tempat itu dengan senang. Pasar malam ramai tak jauh berbeda dengan dulu-dulu saat dia ke sini. Hanya saja pengunjungnya tentu tak membeludak ke jalan-jalan.

"Kamu mau apa?" tawar Gio di gerobak kue bandros.

"Enggak!"

"Mau apa atuh?"

"Enggak mau!"

"Ya ampun serasa bawa cewek, dah." Gio pasrah.

Langit merasa tersinggung lantas melepas eratan jari-jemari Gio di tangannya.

"Eh, jangan dilepas!"

Langit meleletkan lidahnya lalu berjaga jarak.

Suara teriakan dari penumpang kora-kora menggelegar Langit bergidik sementara Gio sibuk bercengkerama dengan pedagang bandros.

"Naik, yuk, Beb!" ajak Gio matanya tertuju pada kora-kora.

Langit menggeleng kepala sungguh tak mau.

Keduanya menikmati bandros hangat. Rasa ketan manis seperti keduanya yang manis.

Menikmatinya di jembatan penyeberangan orang sambil tatap mobil di bawah yang berlalu-lalang.

"Suapinn," pinta Gio membuka mulutnya lebar.

Langit menyuapi Gio dengan bandros manis. Lalu silih berganti Gio menyuapi Langit.

Terdengar gelak tawa keduanya. Gio menggendong Langit menyusur jalan trotoar tertawa bersama menikmati malam habis hujan. Meski Gio hampir terjelabak karena licin.

Tak ada hal mewah dari mereka untuk bahagia. Sederhana. Dan tertawa teringat kenangan.

....

Gio mengajak Langit menyusur jalan kota dengan motor matic-nya. Langit mengalungkan lengannya ke pinggang Gio tak mau lepas. Langit tertawa sembari bernyanyi lagu Korea salah dengar.

Gio bersama Langit saling menggandeng tangan di jembatan berhias lampu. Gio menggantungkan sebuah kunci gembok di pagar jembatan yang sama-sama telah digantungi kunci gembok lain penuh lebih dulu.

Langit diam menonton Gio mengunci gemboknya di pagar.

Langit memandang mobil-mobil di bawah ramai amat ramai. Suasana kota dipenuhi keramaian orang dan derum motor.

"Kenapa?" tanya Gio sembari memutar kunci di telunjuknya.

"Saat kita lulus nanti, apa kita akan bersama, bekerja lalu pulang saling bersahut menikmati malam seperti ini?" Langit memandang lampu baliho.

Gio paham lalu memeluk Langit di belakang, meletakan dagunya dekat leher Langit.

"Mungkin. Kita bisa, tentu." ucap Gio.

Garis Langit [BL]Where stories live. Discover now