BAB 33: PERTEMUAN SESAK

617 80 3
                                    

Terayun di hammock pelataran rumah sembari menikmati ubi unggu rebus. Gio bertelentang mengayun pelan menikmati hangat matahari kala sore. Roman kesal dibakar api cemburu pada Langit enggan pergi. Dirasa dicampakkan olehnya saat mengobrol manis dengan Raga masih melekat.

Gawai tergolek di perut, bergetar menandakan ada yang menelepon. Gio menoleh sekilas menampakan seseorang dari 'Langit'.

Gio senyum seringai dia akan mencampakkannya seperti dia di sekolah tadi.

Sekejap.

Hati Gio terasa aneh. Dia menoleh ke arah layar gawai yang terus bergetar dari telepon 'Langit'.

Gio memegangnya mengangkatnya merapat ketelinga.

"... ya?" Gio terdengar benawat.

"Aku mau dengar novelmu," bisik Langit terdengar lewat earpiece.

Gio senyum seringai.

"Kamu bilang kamu tak suka cerita?" datar.

"Aku mau dengar novelmu, uhuk!"

Gio mendelik saat mendengar batuk Langit lalu telepon terputus.

Gio bangun lekas berlari menuju rumah Langit dirundung perasaan cemas akan gundah.

"Maafin aku," gumam Gio seraya menghadang rumput gelagah di jalan setapak langit sore.

Gio tiba di pelataran rumah Langit. Wati menyapanya ramah. Tak ada kecemasan yang tersurat diroman beliau.

"Bade kamana? (Mau ke mana?" Tanya Wati di warung.

"Ak-aku mau ketemu Langit," Gio berseru gugup.

"Mangga. Langit di kamar lagi tidur enggak mau keluar. Capek katanya baru lomba." Papar Wati.

Gio masuk pelan melangkah menuju kamar Langit. Mengetuk pintu kamar Langit meski tangan gemetar dirasa aneh. Gio merasa khawatir soal batuk itu.

"Langit?" panggil Gio.

"Apa kamu bawa novel?"

Gio mendengar sahutan Langit.

"Enggak. Aku udah hapal. Lebih baik dari sumbernya bukan?" Gio senyum.

Daun pintu memutar kebawah lalu terdengar derit pintu membuka celah melebar menampakan Langit dengan kaos seperti dasternya berdiri memandang Gio oleh roman manis.

Gio senyum masuk langsung menutup pintunya rapat.

Gio merasa gerogi.

"Bagus kamu datang. Aku nungguin di telepon enggak diangkat." Langit berkata lirih.

Gio senyum, "Maafin aku ya," lirih Gio berkaca-kaca.

"Abdi anu kudu nyuhunkeun hapunteun. (Aku yang harus minta maaf.)" Langit berkata lirih.

Langit pucat pasi, matanya layu polos, bibirnya kering dehidrasi terlebih sudut bibirnya ada bekas luka waktu lalu.

Mereka berhadapan duduk dikasur saling memandang satu sama lain.

Tangan Gio melayang pelan pada wajah Langit memelai rahangnya berlalu memegang dagunya.

"Kamu sakit. Kita ke rumah sakit." bisik Gio.

"Suganteh moal nyarios kitu panginten. (Kirain enggak akan ngomong gitu.)"

"Aku enggak ngerti kamu ngomong apa. Bicaralah yang lain agar aku bisa tahu artinya." Bisik Gio.

"Hoyong ka batu, (Mau ke batu,)" pinta Langit.

Gio senyum, air mata jatuh di sudut matanya.

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang