BAB 28: RUANGAN INI

557 82 1
                                    

Gio melucuti seragam putih Langit di kamarnya lalu mencampakkannya di lantai. Langit duduk anteng di kasur secara berhadapan.

Gio tak kuat melihat luka lebam di mukanya. Dia gemetar. Apa yang harus dilakukan pertama kali. Dia tak tahu. Gio menarik celana Langit yang kotor lalu sama-sama dicampakkan bersama baju putih Langit di sana.

Gio ditampar oleh luka lebam di pahanya, perban oren di lutut, lebam di pinggang, perut, lengan semuanya. Gio tak banyak bicara hanya kebingungan akan tanya soal luka semuanya.

"Beb ...," lirih Gio.

"Sttss, aku baik-baik aja." sanggah Langit memerintah Gio untuk tidak bertanya jauh.

Dia duduk di kasurnya hanya celana dalam yang melekat menutup daerah sensitifnya. Dia menatap bayang dirinya di cermin depan. Wajah miris tak pun manis lagi.

"Tahan," Gio memoles antiseptik di sudut bibir Langit.

"Aww," rintih Langit.

Gio menitikan airmata dengan berbarengan memalingkan pandangannya ke sisi. Keningnya bengkak kehijauan. Gio mengompres luka memar itu terutama di kening oleh kain basah hangat. Langit mengambil kain hangat itu lalu ditaruh lama di keningnya sendiri.

Gio membasahi kain baru di air hangat baskom, lekas mengompres bagian lain. Langit biasa saja tapi Gio bisa melihat rasa sakit yang ditahan. Tangan Gio gemetar saat mengompres bagian pinggangnya oleh luka lebam.

"Terima kasih," gumam Langit.

"Jangan banyak bicara dulu. Aku enggak mau kamu ngomong, itu sakit!" tegur Gio terdengar menahan airmatanya yang entah kenapa ingin jatuh.

Langit memejamkan mata saat denyut di keningnya merasa hangat oleh kain hangat. Gio melepas perban oren Langit di lututnya, lalu membersihkan lukanya dari ramuan hijau yang entah Gio tak tahu.

"Tahan, ya." aba Gio saat membersihkan lukanya oleh kapas.

Langit merintih.

Dirasa lukanya telah bersih, Gio membuat bantalan kasa lalu ditetesi betadine segeranya menempelkannya ke luka itu.

Langit mencekeram kuat bahu Gio saat perih. Gio gemeteran sembari memotong plester agar rapat.

"Beb,"

Langit menutup mulut Gio oleh telapak tangannya. "Kalo kamu banyak tanya, aku akan marah. Tapi, jika kamu diam dan mengobatiku sambung hiburan aku akan senang." bisiknya.

Gio kembalk ditampar oleh sarung jarum di mana akan terasa cekit. Dia terasa jejal menitikkan airmata lagi. "Siapa yang lakuin ini?" bisik Gio sembari mengompres lebam di pelipis Langit.

"Aku terperosok ke sungai, lalu jatuh." kelit Langit berbohong lagi.

"Tak masuk akal. Ceritamu tak logis." lirih Gio melihat roman manis prianya bersemayam memar. Bukan pujian yang terucap dibenak hanya kemirisan.

"Beb, sakit, ya?" Gio tak tega mimik Langit menahan sakit terutama perut.

Langit mengubah mimik getirnya menjadi ceria, dia menggelengkan kepala. "Enggak, kok." lalu senyum manis.

Sebuah tamparan kembali mengujam. Gio menunduk seraya mengetuk kepalanya oleh kedua tangan dirasa geram pada diri sendiri.

Gio merasa gagal melindungi Langit. Gio merasa gagal melindungi untuk kedua kali saat kejadian sekolah dirundung dan sebuah kertas berisi ejekan.

"Entong ceurik, ulah khawatos, teu nanaonda (Jangan nangis, jangan khawatir, enggak apa-apa, kok.)" lirih Langit.

Gio tersedu-sedan. Dia tahu Langit berusaha menenangkannya sengaja bahasa sunda agar Gio tak tahu artinya.

Garis Langit [BL]Where stories live. Discover now