BAB 18: MALAM INI

1.4K 131 1
                                    

Tiga kantung plastik bening berisi permen kapas merah jambu dipegang erat oleh jemari lentik. Berjalan di bawah langit malam terselubung mega bergerak lamban. Langit biru toska membentang jelah berteman candra berkedip milyar bintang kecil. Angin malam tenang tak sekuat pagi tadi. Menyibak helaian rambut dua pria sedang melangkah bersama di bahu jalan menapak sepatu di atas aspal hitam legam.

Wajah keduanya berseri saling memandang riang, berbinar lengkung senyum di antaranya.

Eratan jari-jemari mencekeram tiga kantung permen kapas dikepal tangan pelan mengendur berganti ke tangan kiri dipegang erat. Tangan kanan yang kosong beringsut melayang pelan pada uluran tangan menggantung di seberangan. Langit dengan arahan tangan jemarinya menyentuh jari Gio pelan: menggandengnya hangat.

Hangat mengikat mengisi desir darah di telapak tangan. Gio senyum manis; mengeluarkan tawa kecil bergaya anteng, menyusur bahu jalan saling mengerat ikatan jari-jemari.

Semilir angin mengibas kedua rambut yang terombang-ambing dalam hawa dingin. Untung keduanya mengenakkan busana hangat dan lengan terbungkus sweater. Tapi, tampaknya angin masih nakal terus mengusik paha Langit yang terbungkus celana pendek.

Duduk berselonjor bersama di batu pipih tinggi yang dulu keduanya menyantap makan siang di sana. Sebuah batu di tengah sawah oleh sisi sawah membentang. Kali ini, dipenuhi junior padi yang sedang menimba perjalanan menuju dewasa hingga suatu hari nanti, padi junior yang rapuh berdaun tipis sering melunglai hingga patah oleh angin benawat akan menjadi senior yang kokoh.

Padi junior berjarak antar lain memberi celah di tengah oleh air mengalir tenang terbawa dersik seperti ombak laut, hanya saja ritmenya culas, mereka berjarak dan mereka saling berdempet kelak nanti dan tak merasa berjauhan lagi.

Kebersamaan tumbuh membumbung bunga putih mencuat benih padi memupuknya dengan buah lebat dan memberikan kekenyangan bagi burung pipit yang hinggap berkoloni di atas tangkai padi yang menguning keemasan.

Gunung gagah berselimut payoda mengelilinginya. Dinding kawah berwarna putih kapur, masih terlihat tajam, hanya saja rada menggelap oleh gulita malam.

Langit dan Gio duduk bersama menikmati tahun baru dan hari, bulan, awal baru; merasakan hari pertama di tahun yang baru, di mana masih ada ratusan hari yang akan mereka jalani oleh cerita baru lagi.

Gio memposisikan tubuhnya telentang dan kedua tangan menyilang kebawah punggung kepala sebagai alas bantalan. Dia menatap langit cerah dibarengi rembulan malam memandang milyaran bintang di atas.

Langit masih diposisi sama wajah manisnya dibelai angin. Dia merebah diri telentang meniru apa yang Gio lakukan.

Mereka sama-sama memandang langit biru toska itu.

"Aku enggak nyangka dengan apa yang terjadi beberapa menit tadi." ucap Langit.

"Aku pun demikian," sahut Gio diiringi bibir tipisnya membuka setengah.

"Seberapa lama kamu memedam rasa padaku?" tanya Langit.

Gio senyum sekilas. "Amat lama. Bahkan aku harus mencari waktu dimulai pura-pura drama pingsan."

Langit terkekeh dangkal. "Aku menduganya." "Aku sudah menduganya.

"Apa orangtuamu tahu tentang identitas dirimu? Mereka menganggapmu mengencani gadis?" Langit memandang ke atas.

"Mereka tak tahu dan akan tahu saat waktunya tiba."

Langit tertawa hambar. "Aku pun demikian."

"Apa kita bisa menikah?" Langit tawa garing

Gio senyum sekilas. "Tentu."

Langit terkesiap. "Jika kita menikah, itu akan bencana!"

".... Tak. Jika kita pindah."

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang