BAB 6: TERISI

1.6K 216 3
                                    

Celana levis selutut dan kaus oblong, duduk di jalan setapak beralas tanah di tengah sawah sedang merendam kedua kaki ke dasar lumpur yang sudah dibajak traktor pekan lalu.

Dingin relaksasi.

Orang tua Langit membungkuk punggung di tengah sawah mencelupkan bentel ke lumpur yang sudah dibajak minggu lalu.

"Langit, teduh di bawah pohon, panas!" Wati menegakkan punggungnya sejenak, sorot matanya mengarah pada Langit yang duduk manis di sana mengelantang diri.

"Malas." kata Langit memejam mata, merasakan relaksasi tanah sawah yang dingin membalut kedua kakinya.

Wati berdecak kesal seraya menepi, melepas dudukuy yang terpatri di kepalanya memasangkan pada pucuk kepala putranya.

"Mamah ...," Langit menengadah kepala ke arah Wati yang bajunya setengah kotor.

"Mamah suruh kamu buat neduh. Bukan panas-panasan. Entar hitam baru tau rasa!" nasihatnya.

"Biarin hitam juga, yang penting hatinya putih." Langit malah berfilsafat.

Wati menggeleng kepala pelan, lalu menengok ke arah seorang pemuda yang jalan hendak ke sini.

Wati menajamkan mata sesekali mengenyit. "Gio, mau ke mana!"

Gio mendongak pada Wati yang memanggilnya sesekali menyipit mata karena silau matahari membuat alisnya setengah bertaut.

"Iya Bu, mau ke sana, kok!" sahutnya.

Langit menautkan alisnya seraya menatap Gio dengan tatapan pedar. Dia jengkel karena pulang sekolah tadi dia menjitaknya. Kepalanya terasa berkedut.

"Malah dipanggil!" jengkel Langit memalingkan wajah ke arah lain.

"Ibu," sapa Gio tiba, hendak bersalaman namun Wati yang sadar tangannya kotor karena habis tandur, beliau melambaikan tangan menolak.

Langit yang duduk di belakang sengaja memutar tubuhnya ke samping. Bermaksud membelakanginya seraya menggerutu menirukan obrolan Gio bersama ibunya dengan bisu.

"Yaudah, jangan di sini atuh, panas. Bawa Langit buat neduh. Di bawah pohon pisang, ya." papar Wati lalu menunjuk pohon pisang berjejer bikin bawahnya sejuk dan tergelar tikar menutupi jerami kering.

Sebuah pohon palaning dengan buah yang sudah mencokelat tua tampak berdiri dengan kokohnya di samping. Tergelar tikar, peralatan sawah dengan karung juga sebuah tirisan tempat ibu Langit menyimpan bekal makan untuk disantap.

Gio mengikuti arah telunjuk Wati lalu menganguk paham.

Wati berlalu mencopot dudukuy di kepala Langit lalu mengenakannya lagi. Beliau melanjutkan bentel bersambung obrolan Nurojat.

Langit masih membelakangi Gio.

"Hei, Langit. Buruan panas!" ketus Gio menutup atas kepalanya oleh kedua tangan.

"Lebai." cibir Langit.

Gio berjongkok di jalan setapak itu untuk mengobrol.

"Buat apa lu datang ke sini, ganggu aja," Sewot Langit tak mengenakkan.

"Ngit,"

"Ngit-ngit, emang urang reungit! (Ngit-ngit, emangnya aku nyamuk!)" amuk Langit.

Gio terkekeh dangkal lekas mengusap rambut Langit dengan sekali.

"Lucu ih, kek cewek." terdengar ejekan dari Gio.

Langit memutar tubuhnya menatap Gio di sampingnya.

"Mau apa?" ketus bersama tatapan sinis.

"Biasa aja kali ngomongnya. Harusnya juga gue yang ngambek. Udah bikin sesak, jatuh pula." Gio sekilas memalingkan pandangan.

Garis Langit [BL]Kde žijí příběhy. Začni objevovat