BAB 8: JEMU

1.2K 171 9
                                    

"Kakak itu jangan sok-sokan ngatur! Kita udah punya kehidupan masing-masing. Masih ngurusin adik buat apa!" hardik Mita, kakak kedua Langit, sedang mengadu argumen dengan Mia, kakak sulung yang mencekam di mulut pintu kamar Mita.

Mia memuncak, mata memerah rahang menegang tak terima menerima bangkang adiknya.

"Aku kakak kamu! Ngomong jika ada masalah bukan sinis!" hardik tak kalah tinggi terlontar dari Mia.

Mita terkinjat merasa muak akan adu argument tak habis, dia menutup pintu kamar dengan gusar.

Mia tak hirau, rahangnya menegang urat di leher. Dia menendang kuat-kuat beberapa kali pintu kamar bersusul hardik mencekam.

"Adik sialan!" sarkas Mia sela menendang pun mengebrak punggung pintu terus dan terus.

Langit di kamar, menyandar ke pinggung pintu dengan tatapan mata kosong merekam tiap suara ribut dari pertengkaran kakaknya yang tak ada habisnya. Langit memeluk kedua lututnya dengan tangan gemetar merasa takut jika hal tak diinginkan terjadi. Dia memegangi kepala dengan kedua tangan tertegun menutup telinga.

"Hentikan!" lirih Langit memecah hening kamar.

Mia dengan amarah yang tak bisa dibancang lagi, terus mengumpat dan menendang sekuat tenaga pintu kamar Mita adiknya. Setelah tak ada balasan baik dari Mita.

"Ada apa ini!" Wati melerai ribut. Beliau memegang keresek kecil habis belanja dari warung, gegas menuju ruang kamar yang tertutup gorden merah.

"Apa ini! Mia, hentikan!" pekik Wati pada Mia yang seakan telah tenggelam akan sadar.

Brak!

Tendang Mia mengebrak pintu, tak menghiraukan ibunya.

"Keluar kau sialan!"

Wati mendekap putri sulungnya seraya memanjat doa-doa agar tenang. Suara tangisan dari Mia pecah saat memeluk ibunya. Tangis pun pecah di dalam kamar Mita yang menembus dinding terdengar oleh Wati.

Mia terduduk di lantai keramik mendekap penuh derai air mata.

Langit napasnya terjejal, terisak menyungingkan senyum getir, senang saat pertikaian itu mereda. Dia kian menguatkan pelukan tangannya di lutut dengan kepala mengangkat, menampak wajah basah oleh air yang terjun dari matanya.

"Udah, Ibu di sini, semuanya baik-baik aja," lerai Wati mengusap rambut Mia yang ternangis dalam pelukan ibunya.

"Dia bukan adikku Mah, dia adik tak tahu diri!" umpat Mia menahan tangis.

"Sttss ... udah jangan gitu, Langit jangan sampai dengar." bisik Wati.

"Dia hanya nonton di kamar, tak membantu!" desih Mia.

Gawai berdering dari nakas di kamar seorang pemuda.

Langit bangun bermata sembap-menatap layar gawai-menampilkan sebuah panggilan masuk dari Gio.

Langit memegangnya agak gemetar. Ibu jarinya menggulir ikon telepon ke atas lalu merapatkannya ke telinga.

"Ha-halo," Langit berseru gugup.

Gio di luar tepatnya halaman depan rumah, di jok motor matic-nya. Seragam putih formal untuk pemotretan KTP seumur hidup.

"Halo, Ngit?" sahut Gio riang.

"Ada apa?" tanggap Langit datar bersikap biasa padanya.

"Biasa atuh, jangan gitu. Hei, yuk bikin KTP." ajak Gio menyalakan motornya.

Langit senyum lekas menganguk. "Sekarang!"

"Sialan!" umpat Mita sayup-sayup terdengar hingga kamar Langit terekam kesambungan telepon.

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang