BAB 82: KALI KEDUA

332 44 2
                                    

Langit gerakan pinggangnya yang pegal saat dia tidur keadaan telentang semalaman. Dia kaku tak leluasa gerak hanya meringis sakit. Jalan kayak patung hidup menuju laci. Ditariknya transdermal patch lekas ditempel ke pinggang. Langit melenguh memejam mata menggigit bibir bawah.

"Aww." Langit memegangi pinggang kanannya. Dia menggelinjang lekas menuju dapur.

Gelembung air galon naik ke atas. Air mengucur mengisi gelas di bawahnya. Langit pegang bersila menghadap dispenser. Kepalanya menengadah. Suara tegukan juga tulang tenggorokan naik turun saat Langit minum air.

Langit terengah dia susut sudut bibirnya yang basah. Dia tengok keadaan sekitar. Ruang tamu dekat ambang pintu. Tak ada orang. Kekosongan. Garuk-garuk pantat terasa gatal lalu beralih punggung. Langit memejam mata menerima kenikmatan garukannya sendiri di punggungnya.

Kupingnya mendengar sayup obrolan dari ruang makan bersamaan denting sendok mengentak piring.

Langit menajamkan pendengaran. Dia merangkak pelan muncul kepalanya di ambang pintu mendengar percakapan ibunya di sana.

"Pinjam. Untuk keperluan risiko, juga modal Bapak." terdengar ibunya memulai.

"Kapan batas waktunya selesai?" kini Nurojat berseru namun terlihat rautnya kecemasan.

"Setengah bulan." Wati bernada rendah.

Nurojat menganguk pelan. Tak ada obrolan lagi hening diisi denting piring.

Langit menguping beberapa kaki menaut alis mencerna obrolan tadi. Dia sedikit mendelik. Wajah imut itu beransur jadi murung kesedihan lagi.

Langit bersandar ke dinding. Dia tatap telalak tangannya. Dia menghela napas. Beban. Obrolan seputar utang. Langit senyum getir. Mengingat status dia bukan pelajar dan sudah waktunya untuk memulai hidup baru beralih dari zona nyaman menuju dunia sesungguhnya.

Langit bangun menuju kamar mandi mandi seraya mencopot transdermal patch-nya. Gemericik air dari gayung terdengar.

Langit duduk tenang tak ada obrolan dari ibunya yang masih sama seperti kemarin. Datar juga tak enak dipandang. Langit seperti anak tiri. Tak disambut begitu ramah. Langit makan tak gairah. Dia makan setengah habis namun saat dia mengingat obrolan pinjam uang, Langit habiskan makannya dengan semangat mengingat jika tak habiskan makan, itu sama saja membuang uang.

Wati alihkan tatapan sejenak pada putranya yang makan laha. Wati senyum meski hanya dua detik.

....

Seragam putih hitam lagi. Pagi ini, Langit akan menebar mengekspansi lamarannya kemana pun. Dia berdoa dengan harapan jika semuanya mendapatkan titik balik. Terpanggil. Paling tidak dua atau empat lamaran itu ada jawaban. Langit akan bersyukur. Kantor ke kantor Langit jamah satu demi satu lamaran di map coklat telah berkurang.

Panas. Tak dirasa, saat ini pukul satu siang. Waktu tak ramah untuk kulit. 

Derum motor. Debu pertikel. Hawa panas dari bagaskara yang benawat. Langit cerah sedikit mega. Teringin emosi.

Peluh. Getir perasaan. Amatiran di bahu jalan. Terhuyung akan badan berat akan putus harap. Lelah namun tak lelah. Dan putus namun tak putus. Capai butuh kepastian dari tiap bulir keringat yang menetes dari dahi, pelipis kiri-kanan, kedua pipi entah semuanya tak membentuk sebuah wajah. Hanya seperti orang putus akan harapan di tengah jalan. Terseok akan angin yang menghujam kuat-kuat. Langit di posisi itu. Menunggu pemanggilan.

Pagi ke pagi. Siang ke siang. Pulang sore akan sinar lembayung yang selalu menyapa. Dengan si map cokelat yang memimpin menuju tujuan.

Berdiri celingak-celinguk akan dahaga kerongkongan, menusuk amat pedih, seperti belati. Langit jalan di bawah sinar panas. Entah keberapa kali begitu. Berseberangan juga memenuhi jalan aspal dilalui mobil memacu kencang. Derum motor, orang jalanan, sorak ramai, menyatu dan Langit di sana diantara mereka.

Orang berpapas searah dan mengarah. Berbalut kemeja formal dan celana hitam dengan sebuah map dipinggang yang Langit pegang agar tak kabur. Lamarannya tinggal dua lagi. Dua bukan sisa kemarin, melainkan yang baru lagi setelah tak ada jawaban tiga pekan.

Masker menutup setengah wajah. Menutupnya akan debu partikel agar masih leluasa menghirup oksigen meski pengap.

Celingak-celinguk mencari jalan. Merapah ditanah orang. Tergolek di kursi panjang merehat diri dikala letih. Bibir kering wajah basah. Mata cekung berkerut seperti tua saja. Padahal seseorang yang duduk itu masih bujang ke sembilan belas tahun.

Rehat melihat lokasi di layar gawai. Sayang, gawainya tak support. Datanya habis lupa diisi. Kantong kering sering keluar keperluan mendesak.

Langit menanyakan pada petugas jalan dengan periwit memekak telinga sembari mengacung tangan mengarahkan mobil di bundaran.

"Pak, jalan menuju alun-alun yang mana, ya?" Langit menanyakan pada petugas jalan dengan periwit memekak telinga sembari mengacung tangan mengarahkan mobil di bundaran.

"Lurus aja. Terus belok kiri belok kanan nanti ada ramai di sana," paparnya.

Langit mangut-mangut mengingat rute itu. Harus Langit itu pelupa dia harus mengingatnya.

"Terima kasih," Langit senyum. Tahu jika mulutnya tersumpal masker, namun petugas itu pasti paham, beliau menganguk mengiyakan lekas Langit melanjutkan.

Melambai tangan di tengah jalan seraya menyeberang. Tak hirau mobil dari empat sisi saling menghujam. Untung mobil-mobil taat peraturan. Mereka mengikuti lajur mereka: berhenti menunggu si pelintas lewat.

Kesekian kali menatap layar gawai yang memajang denah lokasi. Data aktif saat Langit singgah disalah satu konter untuk mengisi data. Tak peduli soal ongkos. Bisa jalan kaki.

Panas. Letih juga capai. Langit menarik maskernya ke bawah. Dia hirup oksigen boros saat keadaan pengap.

Tinggal dua lagi. Harus dikirim secepat mungkin agar tak kesorean.

Langit melanjutkan. Terus tatap gaqai menunjukkan arah rute tempat tujuan.

Senang rasa senang raga. Gedung tiga lantai menyambut di depan. Toko gawai elektronik. Langit senyum tentu bahagia. Dia rapikan pakainnya untuk sesi interview.

Mengganjur langkah menuju lantai atas bertanya pada salah satu karyawan toko. Berseragam biru dengan tanda pengenal di dada menyambut calon pembeli dengan ramah.

Lantai keramik dipijak sepatu yang menemani SMA dulu. Masih nyaman meski sedikit tak sedap untuk dipandang. Terlihat kotor dengan noda cokelat kekuningan. Bukan tak rajin membersihkan. Pun itu sudah berumur. Digunakan dua tahun sejak SMA.

Jalan berplesir bukan kesenangan melainkan berplesir akan ketakutan oleh pulang membawa harap tak nentu. Tentu, saat ini Langit dirundung gugup saat dia harus menuju tahap wawancara lagi. Dia harus bisa juga yakin.

Peluh dingin dimuka telah hilang oleh ac yang menyapu wajah tiap kaki melangkah di lorong.

"Perkenalkan tentang diri Anda," HRD memberikan pertanyaan.

Langit duduk tegak di kursi empuk kantoran. Langit tenang membiasakan diri dengan sikap biasa, Langit mulai.

Setengah lima sore. Langit akan pulang tak dirasa jika waktu berputar amat cepat, Langit lupa daratan tempat dia lahir.

Matahari tak memeras peluh. Malu-malu hilang kejayaan. Meredum berganti oleh hangat dan sepertinya nyaman untuk menghangatkan diri. Tak pun bukan waktunya.

Sorak ramai kian ramai. Trotoar penuh orang. Berlalu melewat atau terlewat diantara Langit di sana.

Derum mobil, lakson mobil, menggema dari bus yang membuat terlonjak kaget. Untung Langit bukan jantungan. Komunitas motor namun berbeda merk. Bergerombol seperti lebah menyerbu manisnya gula oleh serdadu mereka.

Memenuhi jalan tak mau berbagi dengan mobil yang dikepung ke tepian tak berkutik menunggu lengang.

Seperti kantoran. Langit senyum, sebuah senyuman getir atau hampa? Terlalu pede, ya? Saat bayang dirinya terekspos di cermin depan supir.

"Memulai atau dimulai, aku akan terus mengejar hingga tali tanda pengenal mengalung dileher terpatri namaku disana," gumam Langit berkata itu seraya memejam mata karrna capai diangkot menuju pulang.

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang