BAB 23: PERANG

815 109 7
                                    

Gio menuju rumah Langit. Mengenakan celana levis selutut yang mengusik gelagah memelai bulu halus. Dia dikirimi pesan olehnya untuk menemuinya di sawah karena rencana panen seafood bersama ibunya. Gio tentu senang dia akan datang tapi dalam pikirannya terbesit keheranan.

Seafood di sawah emang ada?

Angin di bulan pertengahan Januari cukup kencang tapi tak sekencang topan. Angin kali ini terliuk dengan ritme tenang dan spontan tak seperti di bukit yang berjejer sana jauh tapi masih terlihat gundukannya. Sudah pasti di sana anginnya besar. Sayup-sayup gemuruh baling bambu yang mengumandang terbawa udara hingga ke bawah pemukiman Langit bernaung. Masih terdengar.

Gio mengenakan kaus polos lengan panjang. Dia tak mau kulitnya gersang gosong oleh matahari yang panasnya menyengat. Dia sedang merawat kulitnya agar terlihat lebih glowing seperti Langit

Sebelum berangkat, Gio lebih dulu membaluri wajah oleh suncsreen lalu tak lupa lengannya oleh lotion ber-spf. Tapi betisnya masih telanjang. Dia tahu dan itu sengaja karena tak mungkin dia pakai celana panjang saat bergulat di sawah.

Gio di bahu jalan setapak berhenti sepihak oleh kaki jenjang tak melangkah lagi. Pupilnya melebar memotret gambar pesawahan yang masih ditumbuhi anakan padi pase pertumbuhan.

Daun-daun padi mulai menghijau. Tingginya tak lagi mini melainkan sedikit lebih tinggi ditemani daun mulai rimbun. Celah antar mereka mulai tertutup dan mendekat satu satu sama lain. Mereka  berdampingan dan besar bersamaan.

Gio memicing mata pada kumpulan orang di tengah sawah sekejap lengkung bibir Gio membentuk memamerkan jagung berderetan putih di dalam.

Sawah yang belum ditanami padi dan sudah dibajak oleh traktor tapi ditinggal begitu saja. Petak sawah oleh dua orang pria dan wanita yang romannya sudah pasti Gio tahu. Mereka setengah membungkuk punggung sembari jari-jari membenam benih padi yang daunnya hijau kekuningan yang rapuh oleh angin.

Orang yang Gio incar, santai duduk di tengah jalan setapak beralas tanah ditengah sawah bertudung penutup kepala dari anyaman bambu bentuk jamur: warna cokelat sedikit berwarna hitaman oleh keresek hitam sebagai alas penutup air agar tak bocor.

Gio menuju sana berjalan mengendap-endap menuju Langit yang duduk di jalan itu tak menyadari.

Gio menurunkan pantatnya di sana disisi Langit yang bergeming. Dilihat-lihat Langit seperti turis asing bersama dudukuynya. Gio mengikuti arah mata Langit yang memandang lurus pada pohon pisang berkibar daunnya yang sudah sobek-sobek oleh angin.

Gio melihat ketidakceriaan kekasihnya dengan mencondongkan mulutnya ke telinga, berbisik.

"Hai, imut, aku datang."

Langit tak menunjukkan suaranya untuk menyahut, hanya mematung ditemani gerakan bola matanya yang menurun lalu sesekali berkedip. Gio yang tak banyak akal, dia berlalu lalang tangannya di depan muka Langit.

"Ayo mulai!" Langit bersuara rendah bangun meninggalkan Gio yang terduduk.

Gio mengerut kening lantas menyusul dari belakang. 

"Beb, kita mau ke mana? Katanya mau panen seafood?"

Langit pura-pura tak dengar. Dia berhenti di seberang sawah yang sudah dibajak namun belum ditanami padi. Langit menunjuk ke tengah sewah pada ... keong?

Gio diam tak paham.

"Panen tutut!" ujar Langit.

Gio baru menganguk paham. 

"Yaudah, ayo!" Gio menarik lengan Langit. Dia turun duluan.

Keduanya di tengah sawah. Langit yang tak semangat hanya mematung. Gio melipat kancing lengannya agar lengannya tak kotor.

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang