BAB 36: PEMBUAT ONAR

391 69 3
                                    

Setelah acara menengangkan Anwar, Langit menuruni anak tangga, meninggalkan sepihak ruangan mencekam dirinya. Sekilas dia melihat Raka, Nurul, dan Gio mereka sedang bercengkerama seru di koridor. Langit senyum sekilas. Dia menuju toilet menguncinya rapat tinggal dia  seorang diri.

Langit duduk di toilet memejam mata menyandar punggung. Lama  di ruang dingin seorang diri—enangis tersedu-sedan—tak berani menyeka air mata itu.

Gio lagi-lagi khawatir. Dia menjinjing ransel mengintip di jendela kantor melihat Langit di sana namun tak ada. Gio lekas melanjutkan jalannya menuju perpus namun tak ada Langit di sana.

Gio berdecak gelisah. Dia mulai khawatir lagi. Dia menghela napas berat seraya duduk di anak tangga menggulir layar gawai menghubungi Langit.

Langit merasa getaran di kantung celananya sebuah panggilan telepon. Dia merogohnya menatap oleh mata basah. Langit menjatuhkannya ke dalam ember berisi air. Untungnya gawainya tahan air. Layar itu menyala menampilkan seseorang menelepon dari 'BF', Langit memandanginya seraya memaki diri.

Gio kesal. Teleponnya kian tak diangkat. Gio melangkah menuju toilet hendak buang air kecil.

Gio jalan ke sana sembari mengetuk nomor Langit, merapatkan ponsel ketelinga.

"Angkat, pliss," mohon Gio.

Langit mendengar suara itu. Langit senyum getir seraya memandang gawainya di dalam ember menyala ikon telepon.

....

Langit di sana entah berapa jam. Dia terbatuk saat hawa dingin menyelimutinya lama. Langit keluar membuka pintunya, jalan concong tak bergairah memapak lantai keramik. 

Langit duduk di anak tangga menundukan kepala.

"Seorang gay duduk di anak tangga menunggu pacarnya jemput. Uh, manis!" Wulan datang duduk di sampingnya.

Langit menengok lemah dengan bibir kering dehidrasi.

"Apa?" Langit merasa risi.

"Lu itu ganteng. Manis. Kenapa enggak cari cewek? Sayang banget!"

Langit memalingkan wajahnya kesal mendengar ocehan Wulan.

"Bisa kecilkan suaramu!" Langit berkata pelan.

Wulan senyum seringai.

"Aku akan carikan kamu cewek, mau?" tawar Wulan tentu itu ejekan.

"Kau pintar, tapi hatimu tak pintar." ujar Langit.

Wulan tertawa menanggapi Langit penuh ejek.

"Indahnya dunia milik berdua saling hadap-hadapan di belakang sekolah lalu berciuman. Manis. " Wulan memantik.

"Kamu melihatnya?" tanya Langit lirih.

"Tentu!" Wulan menegas.

Langit bangun tak menoleh pada Wulan, dia bergegas pergi keluar sekolah dengan jalan setengah lari.  Matanya teringin berair lagi namun Langit bancang. Tak mungkin dia menangis. Tapi .. ini terasa sakit kalau dibancang. Dia mengerang batin menahan frustrasinya.

Langit jalan concong menyusur trotoar.

"Langit!" suara pria di belakang. Suara itu tak asing karena telah bertemu dilain waktu. 

Derap sepatu menghampirinya, buru-buru Langit menoleh ke samping. Ternyata Langit berhenti di bahu jalan sekolah tetangga.

"Kenapa aku harus bertemu dia?" gumam Langit melanjutkan jalannya.

"Hei! Sombong, deh!" tegurnya di belakang saat Langit enggan memutar badan.

"Pulang?" Raga di samping Langit dengan ceria memamerkan gigi kawat. Langit meliriknya. Sial. Raga tampan. Langit menggerakan bola matanya ke bawah tepatnya ke leher datar Raga. Ternyata Raga jakunnya terpendam ke dalam sepertinya.

Garis Langit [BL]Where stories live. Discover now