BAB 88: KITA USAI

2.1K 91 2
                                    

Gio mulai menyeberang melambaikan tangan pada salah satu angkot yang memacu di jalan. Angkot biru tua itu menepi. Gio masuk dan duduk di kursi depan.


Hari kian sore bahkan langit telah redum. Senja mulai bergetanyangan di langit biru. Gio diperjalanan menaiki sebuah ojek untuk tiba di rumah saat hatinya terasa aneh terasa ada yang ditinggalkan namun entah kenapa Gio tak bisa menafsirkan terlalu rumit. Dia berdecak kesal kala melihat langit kian redum.

"Bang, agak cepet dikit, ya." pinta Gio pada supir baya pria.

Gio tepuk dadanya yang jejal oleh telapak tangan pelan-pelan beberapa kali.

Dadanya berdebar dan perasaan mulai tak enak. Dia tiba-tiba terasa sedih merasa meninggalkan sesuatu yang membuatnya harus segera tiba.

Gio bersandar seraya memejam matanya.

Mobil memacu agak cepat di jalan aspal. Angkot Gio diisi setengah penumpang ibu-ibu yang tenang juga nampak lesu ada yang tiduran juga bermain gawai kala ketibaan.

....

Keindahan alam. Tatkala dia dirundung lara setidaknya senja yang indah itu berhasil mengikis lara meski hanya seperempat. Itu sudah bikin melupakan.

Lembayung elok dipandang lama juga gemerisik daun padi tatkala disapu angin sore. Indah. Langit di batu memeluk kedua lututnya menunggu tenggelam matahari dalam kesendirian.

Pupil hitam terus merekam gunung gagah kejauhan. Dikelilingi awan yang warnanya bercampur oren ditusuk oleh sinar matahari.

"Ayang ... aku kangen. Ayang ...," Langit bergumam menyebut nama itu.

Derap kaki Gio memijak lantai di gang. Dia tersanga dan napasnya memburu. Banyangan dirinya terjiplak hitam di lantai gang.

Gio memasukkan kunci pagar besi lekas didorong hingga membuka lebar.

Gio memasuksn kunci kedalam lubang pintu namun tak bisa. Gio emosi disusul dadanya terus berdebar kian cepat. Diq merasakan hal aneh tak pernah  merasakan itu sebelumnya. Dia berusaha  tenang menarik napasnya mengatur detak jantung. Lalu dengan tenang memasukan kuncinya lagi. Pintunya terbuka.

Gio jalan buru-buru menuju teko dia kucur air sebanyak mungkin ke dalam gelas lalu diteguk hingga habis termengap-mengap lalu menuju kulkas. Gio tarik kotak cokelat. Dia robek kemasannya lalu dilahap seraya memejam mata.

Cokelat digigit dan renyah karena beku.

Gio terduduk di kursi makan. Dia topang dahinya kemeja oleh tangan sambil menguyah cokelat. Dia memakannya lagi hingga habis lalu diambil yang baru dan masjh nihil, cokelat itu gagal bikin Gio tenang.

Gio hendak ke atas, kakinya setengah mengangkat mengganjur langkah. Tak jadi memijak anak tangga. Gio terdiam lalu memutar badan menuju ruang tamu duduk tak enak terasa gerah.

Sebuah layangan di langit melayang tak ada benang yang menjaganya melayang di udara terbawa angin. Layang-layang putih juga terdapat ekor dari kertas berjela tanpa arah lalu semakin turun kala angin meredup.

"Ayang ...," Langit bergumam menyebut nama itu. Dia masih terdiam tak bergeming hanya memangil nama saat sore makin dingin.

Bola mata Langit bergerak keatas terpancang pada layang-layang yang menurun lalu hinggap di tepi jalan setapak sisinya padi. Langit menajamkan penglihatannya takut salah jika itu bukan sebuah layang-layang. Langit bangun lekas mendekat jalan hati-hati takut jatuh kebawah sawah.

Langit memungutnya. Langit menilik layang-layang itu terdapat ekor dari kertas yang bikin layangannya anggun kala di langit.

Langit senyum dia putus benangnya yang terlalu panjang lalu dia masukan tangannya kedalam benang penyangga hingga layangan itu hinggap disisi bahu. Teringat masa kecil Langit sering mendapatkan layangan dan sering ditanggalkan begitu.

Garis Langit [BL]Where stories live. Discover now