BAB 64: SAKIT

382 44 6
                                    

Pendekatan Langit telah usai dengan itu. Dia telah menjadi pria yang berhasil memiliki wanita. Dan dia berhasil mencurahkan hatinya pada seorang gadis yang manis. Dia mendapatkannya. Berhasil.

Hari ini sudah tak terhitung Langit berjumpa dengan gadis itu. Gadis yang membawanya pada perubahan hatinya.

Pupil hitam, bulu mata cantik, alis terlukis dan wajah mungilnya, Langit suka.

Seperti lalu, Langit mengunjungi rumah Resti untuk menghabiskan waktu hangatnya. Kali ini ada yang berbeda. Berbeda dari busana yang mencolok: kemeja biru di dalamnya dan kaus putih dipadukan celana jeans membalut kaki.

Langit menunggu didepan bersama sepedanya. Resti keluar mengenakan busana berplesir anak muda. Dia jalan pelan lalu mengukir senyum sebagai sapaan akrabnya.

Mengayuh pelan berplesir menuju kedai kopi. Kedai yang tak asing. Kedai ini tempat berlabuh Gio.

Resti melihat dua kopi latte di tengahnya tergambar wajah Langit juga wajah Resti. Resti senyum melihatnya.

Langit memotretnya sekali lalu menggungahnya di media sosial. Keduanya sama-sama mengangkat gelasnya lalu dengan senyum dan diseruput bersamaan.

Wara-wiri, kendaraan pelesir bentuknya seperti bus jendela bolong tak dengan kaca. Warnanya putih ada semburat pelangi di sisinya.

Kursi berjejer juga diisi setengah oleh penumpang yang ingin menikmati pemandangan keliling jalan.

Saat ini kita berada dilain tempat. Jalan lebar beraspal hitam juga dipadati kendaraan beroda empat. Mall di tepian dan sebuah tempat hiburan.

Bianglala tingginya entah keberapa, mengangkut kurungan berisi orang. Kora-kora moncong naga seperti ayunan. Di isi teriakan dari penumpang.

Ramai. Roler coaster melesat dari rel dan di isi penumpang yang sama-sama berteriak takut.

Resti menggandeng tangan Langit menuju wahana roler coaster. Keduanya duduk di kursi tengah, dipasangai sabuk pengaman. Kereta mulai bergerak mengikuti rel yang berkelok juga ekstrim itu.

Teriakan Langit tak terelakan memekak dan bikin Resti tawa keriangan.

Rambut Resti terbawa angin disertai tawa yang tak berhenti melihat Langit menutup matanya tak berani melihat.

Danau, juga perahu bebek. Keduanya di sana di danau lebar. Pilau kuning dengan bebek ceria. Langit berhadapan dengan Resti sembari memegang dua dayung, Langit mendayungnya pelan mengerus air tenang tak beriak.

Langit tak putus melihat roman cantik Resti tersapu polesan make up natural. Dia senyum malu dipandang lama oleh Langit.

"Lihat itu!" Resti menunjuk pada perahu seberang. Sepasang insan sedang menikmati harumanis.

Langit melihatnya agak memicing mata.

"Aku akan belikan. Kamu suka?"

"Permen kapas? ... tentu."

Resti membelakangi Langit. Langit merapat punggung Resti seraya menaruh dagunya disisi leher. Langit memegang tangan Resti lalu mengangkat menunjuk keliling danau tenang.

"Tenang. Bahkan airnya tak meliak ganas. Dia tak ingin ganggu kita."

"Sejak kapan jadi puitis?" tanya Resti tak toleh.

"Enggak tahu. Dimulai sejak aku dengar puitis pertama kamu." Langit bikin Resti jadi senyum manis.

Jari Resti meremat roti tawar lalu dicelupkan ke air. Ikan-ikan naik berebut roti itu.

Langit terasa bosan jika melihat ikannya sedikit, dia menebar pakan ikan bikin tehampar di udara lalu jatuh seperti hujam menyentuh air.

Koloni ikan berbagai warna muncul dari air. Mereka berenang keatas seraya membuka bibir mungilnya menelan butiran itu.

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang