BAB 65: HARUS BERHENTI

312 42 0
                                    

Raga mengantarnya pagi buta karena Langit menginap tak bawa baju sekolah. Meskipun teringin menginap namun menyadari kalau besoknya sekolah dan ini acara menginap dadakan. Mau tak mau ia harus pulang pagi buta. Saat tiba, Raga mengusap rambut kepala Langit yang sekarang bisa di genggam oleh jari-jemarinya. Terasa lembut juga hangat saat bersentuhan dengan jari-jemarinya.

Motor gedenya menderum mulai meninggalkan Langit di jalan agak lengang hanya berlalu motor.

Langit jalan di gang dan arahnya menuju rumah Gio. Arloji Langit menunjuk pukul lima lewat tiga puluh empat. Langit itu mulai menguar cahaya oren di ufuk timur.

Langkah kakinya membawa ia berhenti sepihak di samping rumah Gio. Persis saat berhenti melihatnya di pelataran ketika olahraga siang bolong.

Langit melihat rumahnya sepi. Sepi, tentu sepi kendati dihuni dua orang saja terlebih ini masih pagi kian sepi rumahnya.

Dia melanjutkan jalannya hingga tiba di teras rumah, mengetuk pintu lalu ibunya datang membukakan terdengar ceramahan Wati soal kedatangan Langit.

"Harus habis. Jangan disisain," Wati menuang lagi tumis kangkung untuk Langit ke piringnya.

"Nanti Langit ketiduran di sekolah atuh, Mah." Nurojat tak habis pikir.

"Enggak apa-apa atuh ketiduran karena kan bukan males, ya?" kelit Wati.

Langit senyum dia menyantapnya. Menyantap sarapan pagi di meja makan.

"Langit, dekat loh Pak sama putrinya Bu Hilda." Wati meliriknya campur senyum riang.

"Bagus atuh. Tinggal kawin." respons Nurojat enteng.

Langit melongo.

"Jangan dulu atuh. Langit juga belum beres sekolahnya udah mikirin kawin." Wati tak setuju.

"Ya atuh enggak apa-apa, biar cepet."

"Enggak, enggak. Nyesel cerita." sebal Wati.

Langit lirik kanan kiri pada ayah juga ibunya yang debat.

"Pusing jadinya." Langit menyalami punggung tangan ibu juga ayahnya untuk sekolah.

"Belajar yang bener, ya." tutur Nurojat sela bersalam.

"Ini makannya belum habis!" Wati memegang piring Langit terisi nasi setengah habis.

"Tuhkan Langit ngambek. Bapak sih jadi ginikan!" tuduh Wati menyalahkan.

Nurojat nyengir, "Bentar lagi punya cucuu."

"Cucu, cucu. Langit masih sekolah juga." Wati jengkel. Nurojat malah ketawa.

...

Langit mengangkat telapak tangannya ke udara merasa rinai berjatuhan. Dia menengadah membuat romannya dihujami. Dia agak jalan cepat meneduh di warung pinggir jalan. Jalan aspal seketika bertabur air dari langit redum. Dia makin berdecak mendengkus lalu duduk paksa di kursi panjang kayu.  Cemberut lalu memutar badan melihat gorengan hangat.

"Makasih," Langit membeli gorengan hangat dimasukan kekantung merah. Langit makan satu sembari menunggu hujan mereda.

Beberapa kali Langit tengok arloji hingga bikin dia geram juga mengetuk kacanya akan kesalnya. Si ibu penjual bertaut alis melihat kelakuan Langit.

"Hujan gini awet, Jang. Naik mobil aja." saran ibu penjual bikin Langit menoleh ke belakang. Dipikir-pikir memang benar. Langit redum tak nampak langit biru. Langitnya keabuan juga putih merata dan bertetes air tak henti.

Langit menghela napas lalu menggigit gorengan tempenya penuh sebal.

Langit lari menuju lapang saat mobil angkut yang dia tumpangi berhenti mendadak di depan gerbang sekolah Langit. Langit lari sembari menjinjing kantung keresek berisi gorengan tadi. Dia lari hingga tiba di kelas.

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang