BAB 21: JEMU KEDUA

761 102 0
                                    

Langit di sofa ruang tamu menyaksikan kedua kakaknya sedang beradu argumen kembali. Saling menang di depan Langit yang diam membisu tak ada gerakan mulut yang kering dehidrasi. Kicauan dari keduanya menusuk dua telinga yang sama-sama menyumpal, saling tunjuk-menunjuk di depannya seakan tak ada yang mau mengalah.

Wati terduduk di pintu dapur tersedu-sedan. Tangis sendu itu terekam pendengaran Langit.

"Tibaheula sia can pernah nurut ka aing! (Dari dulu, kamu tidak pernah nurut sama aku!" pekik Mia.

"Tong sok kitu! Sarua manehge teu becus jaga adi! (Jangan gitu! Sama kamu juga tak becus jaga adik!" Mita tak kalah tinggi tangannya menunjuk wajah emosi Mia.

Langit di tengah diam membisu tak melerai menunggu detik terakhir siapa yang akan tumbang pertama. Tak ada secuil keberanian yang tergurat di wajah polos Langit, hanya tatapan layu akan jemu berharap usai.

"Langit! Ada Kakak kaya gini yang nuntut sama Kakak sulung!" pekik Mia memerah menahan emosi. Sudah tak dibayang mata dan urat di leher.

Langit tersentak. Dia tatap lemah berani kakaknya akan pertikaian.

Mia berdiri angkuh menunjuk-nunjuk Mita yang terduduk di lantai matrik meja setinggi paha.

Brak!

Mia mengebrak meja sudah muak adik tak mengalah. Terus memantik persoalan lain.

"Kakak biadab!" sarkas Mita berambai-ambai menuju ibunya di dapur tak tanya soal apa, jelas beliau menggerung berharapan semuanya usai. Mita duduk mendekap ibunya di sana.

Suasana mencekam mereka berderai air mata tak terkecuali si kecil Langit yang membisu. Menahan sendunya sendiri.

"Langit. Bantuin kakak!" pekik Mia hilang sadar. Dia meremat dagu Langit kuat-kuat membuatnya memaksa menatapnya.

Langit bisa melihat wajah tegang Mia, mata merah tersisa air kesedihan sembari melotot emosi.

"Udah, Berisik! " Langit mengeluarkan keberaniannya meski ragu akan balasan dari kakaknya.

Mia memalingkan sorot mata mengerikannya ke arah lain seraya melepas cengkeraman jari-jarinya di dagu Langit.

Mia telah sadar. Wajah emosinya memudar beliau menundukkan kepala meski rasa emosinya masih membekas. Mia terduduk pelan ke lantai memegangi kedua dahinya sembari tangan mengepal mengebrak-ngebrak meja dirasa tak bisa mengimbangi emosi.

"Hampura. Kabeh moal kie deui. (Maaf. Semuanya tidak akan kaya gini lagi.)" Lirih Mia merangkul bahu Langit mendekapnya namun tak berani mengangkat kepala sekadar memandangi wajah sedih adiknya.

"Atos tong kie wae. Langit bosen! (Udah jangan kaya gini terus. Langit jemu!)" Lirih Langit mengeratkan pelukan Mia.

....

Wati memegang nampan bergemetar membawakan kopi untuk suaminya yang duduk di sofa menonton tayangan semut di TV tabung. Beliau mematung tergurat keresahan diparas keriput.

Wajah sembap Wati masih tersisa, beliau duduk sejenak di sofa menemani suaminya namun tak lama kemudian beranjak.

"Bade kamana? (Mau ke mana?)" Nurojat berseru tak menoleh hanya diam mematung. Beliau diam hanya wajah murung mewakili perasaannya.

"Mamah mau ketemu Langit. Dia tadi nangis. Mamah mau nenangin dia. Tak sepantasnya dia merasa." tutur Wati, senyum memaksa tak menutup luka.

Beliau menuju kamar Langit memberanikan diri mengepal tangan penuh kegemetaran.

Garis Langit [BL]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz