BAB 48: APATIS

411 71 7
                                    

Pintu kamar ditutup keras. Amat mencekam di ruang yang sepi. Gian bermuka emosi dan urat melintang di leher putihnya.

"Kamu bikin Ibu kecewa!" hardik Gian mencengkeram lengan Gio di kamarnya.

Gio buang muka tak menatap muka Gian yang habis terbakar amarah.

"Tatap aku! Aku kakakmu!" pekik Gian mengguncang lengan adiknya.

Gio tak berani memandangi Gian. Dia ikut terengah napasnya akibat belungsang kakaknya yang mengerikan.

"Aku adik buruk. Aku bikin kecewa!" Gio mengaku tanpa menoleh.

Gian mengatur napasnya yang berat.

"Kamu laki-laki! Kamu adik aku satu-satunya dan kenapa kamu malah kayak gini!" Gian masih betah dengan pekikan itu.

"Aku amat mencintainya." terdengar lirih dari Gio.

"Kakak kecewa! Homo!" Gian geram melepaskan cengkeraman jari-jarinya di lengan Gio hingga membekas merah.

"Siapa yang bikin kamu kaya gini! Siapa!" pekik Gian.

Gio memejamkan mata saat kakaknya men-sarkas. Matanya dibuka lagi lalu disusul senyum juga lesung pipi.

Gian mendengkus seraya menyeret lengan Gio menuju toilet. Dia menurunkan bahu Gio hingga terduduk di lantai. Gian menyalakan shower hingga airnya tumpah membasahi Gio.

Gian mengangkat ember menghujam air didalam beberapa kali ke kepala Gio hingga tubuhnya basah kuyup.

Gio diam. Menegun menatap lantai terkucur air deras dari kepalanya.

"Sadar!" Gian mencekeram dagu adiknya memaksa menatapnya.

Gio tak memberikan wajah takutnya. Dia malah senyum lagi.

Plak!

Sebuah tapuk mendarat ke pipi Gio mencetak merah.

"Kamu bikin kecewa! Memalukan!" sarkas Gian. Wajah itu merah. Matanya melotot akan menerkam penuh apatis kesakitan yang diterima adiknya.

....

"Apa yang kamu lakukan dengan rambutmu?" Wati melihat rambut putranya botak.

Langit senyum.

"Hanya mengubah sedikit." bisik Langit sembari duduk di kursi pelastik menghadap ibunya yang berbatas meja kaca ruang tamu temaram oleh sinar luar dari celah gorden.

"Cerita sama Mamah. Ada apa?"

Langit menunduk kepala.

"Apa Mamah akan menjauh jika aku jujur." desih Langit.

"Kamu anakku, kamu putra Mamah." Wati beralih duduk di samping putranya, membelai pipi Langit, memegang dagu putranya hingga pelan mengangkat untuk menatap.

Langit melihat mimik muka ibunya ramah.

"Langit ... ingin pindah ke Bekasi, Mah."

"Mau apa?"

"Langit ingin kerja."

"Mau kerja apa kau di sana, sementara ijazahmu masih berupa kertas kosong." kelit Wati.

Langit senyum menanggap.

"Langit kangen sama Sakira di Bekasi, Mah."

"Langit tak kangen sama, Mamah?"

"Langit ingin pergi merapah, Mah."

"Belum waktunya kau merapah. Waktunya kau menimba ilmu."

"Langit ingin jauh dari, Gio."

Garis Langit [BL]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant