BAB 43: BUNGA BIRU

369 67 2
                                    

Para pendaki berpakaian hangat karena sangkin dingin menusuk tulang udaranya. Uap asap keluar dari gorong-gorong tenggorokan menyembur dari mulut saat berdialog berkumpul untuk menikmati fajar.

Alunan gitar salah-satu tenda dikerumuni muda-mudi bersenandung nyanyi pagi.

Kinan, Nurul, Raka tak jemu dengan kamera digital terus berselfie gaya keseribu kali.

Si bulat di ujung cakrawala melaju pelan, pelan lalu menguar sinar hangat tapi sinarnya masih kalah oleh panas tubuh.

Langit-Gio duduk di batang pohon yang batangnya masih menancap dipohon melengkung diterjang angin. Daunnya tak ada hanya menyisakan batang pohon melengkung menghadap si fajar itu.

Langit memainkan gawai mengarahkan kamera pada fajar. Memotret satu kali lalu mengetuk kamera depan.

Langit berdecak jengkel saat wajahnya tak terlihat di layar LCD.

Gio di sisinya diam menikmati semilir angin dingin menyentuh dahi dan punggung leher yang tak tertutup kupluk jaket.

Keduanya berpakaian hangat berjaket tebal seperti menghadang salju yang punya kedinginan derajat tinggi.

Langit menggesek-gesekan kedua telapak tangannya meski telapak tangan berbalut sarung tangan kategori hangat, namun sia-sia dingin di gunung amat mencekik.

Gio mengalungkan tangannya dileher Langit, seraya merapatkan pelipisnya ditengkuknya: memandang detik-detik bagaskara kian menaik memencar sinar hangat itu.

"Beb," Gio memandang lekat Langit.

"Emm?"

"Kita harus bersama, aku enggak mau kehilangan kamu,"

Langit mengusap punggung Gio dibarengi senyum tulus.

"Aku pun demikian. Tapi aku enggak tahu mau sampai kapan ini terus berlanjut."

Gio sedikit sebal akan jawaban Langit

"Kok kamu ngomong gitu?"

"... entahlah. Aku hanya merasa takut." Langit menunduk kepala.

Sinar hangat oren menyentuh dahi Langit. Gio memutar pandangannya pada si gagah di ujung cakrawala. Si bundar itu kian menguar hangat.

"Aku agak kecewa." Gio memiring alis tebalnya.

"Aku pun."

"Kamu kecewa kenapa?"

"Aku tak dapat mencium. Sementara kamu leluasa menciumku?" Langit cemberut.

Gio terkekeh dangkal.

"Kamu masih poloss. Jadi aku harus lebih dulu mulainya." Gio nyengir.

Langit merajuk berusaha memalingkan pandangannya ke arah lain.

Gio memetik bunga biru yang hidup liar di bawah pohon. Indah. Warnanya ketenangan. Bunga itu diselipkan ke telinga Langit.

Langit hendak mencopotnya namun Gio murung.

"Maluu," Langit lirik kiri kanan.

"Kamu makin manis pake itu. Bunga itu bunga .... lupakan. Bawa sebagai kenang-kenangan." Gio senyum semringah.

Langit mengambilnya meniliknya amat lekat dirasa belum pernah menemuinya di pelataran rumah.

Langit senyum menaruh kembali di telinga.

....

Pijakan sepatu trekking dari Langit pada batu berlumut di jenggala menuju bawah. Regu Langit di belakang, jalan menyusul Gio.

Garis Langit [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang