BAB 83: GATA

300 36 3
                                    

Capai, Langit merasakan itu. Berkutat di jalan sudah berapa kali. Pergi dengan seragam sama lalu pulang dengan seragam sama juga. Letih. Jemu. Muak. Gundah. Langit meniup poninya lagi. Dia tiba di rumah terduduk di lantai seraya menyandar ke di dinding seorang diri di kamarnya. Botol mineral setengah habis dipegang tangan.

Langit memejam. Letih. Dia gerakan lehernya dirasa pegal. Langit batuk dahinya demam. Langit membuka mulutnya mulutnya dehidrasi. Dia teguk lagi air botol hingga habis. Mulutnya membuka.

"Engkin abdi naur. Dinteun ayeuna mah moal tiasa, hapunteun. (Nanti saya bayar. Hari ini mungkin enggak bisa, maaf.)" Wati bercengkerama di ambang pintu suaranya menembus kamar Langit.

Dia menoleh ke suara itu agak menguping.

Langit muak. Berdecak juga wajah penuh kecewa. Lamaran tak ingin lngin dengar lagi. Sudah jemu dibikin olehnya. Langit gagal. Gagal bersaing atau belum saatnya. Entah.

Langit melepas kancing demi kancing kemejanya. Tinggal badan polos. Dia bersila menghadap bayang dirinya di cermin lemari. Wajah hilang semangat. Murung. Langit terasa lelah dari awal dia semangat. Dia lirik berkas lamaran baru yang hendak di ekspansi lagi. Sudah tak bergairah. Hanya tatapan sumarah.

Langit menarik ingus di gorong hidung satu kali. Dia seka mulut hidung oleh jemarinya lalu tertegun.

"Fuck," lirih Langit.

Langit pegang kepalanya oleh kedua tangan seraya diketuk pelan dua kali. Terasa sumarah dengan keadaan dengan perjuangan dia yang berbalas tak tersiaa sebuah harsa hanya getir.

Langit bersiul menirukan suara kenari meski salah kaprah namun siulan itu berhasil bikin kenarinya menyahut. Dia mengepakan sayapnya juga bersahut pada Langit oleh kicaun. Langit dibikin gemas. Dia buka pintunya lekas tanpa perintah, kenarinya terbang bertengger dibahu Langit. Dia beringsut lalu mematuk pipi Langit.

Langit ketawa kala murung. Melihat kelakuan kenarinya bikin Langit gemas. Burung itu berhasil bikin orang mengukir senyum.

***

"Ajak Langit melamar bersama." Ratna mengusap bahu Gio saat duduk menatap layar monitor.

"Melamar kemana?" Gio bingung.

"Ibu dapat ini dari tetangga. Coba aja ke sana barangkali cocok. Ibu dengar kalo Langit juga belum kerja, barengan aja jangan sendiri-sendiri." Ratna menaruh brosur lowongan kerja ke meja Gio seraya berlalu menyisakan suara pintu ditutup.

Gio tatap brosur itu. Dia pegang dengan kedua mata menilik fokus kualifikasi.

Gio berdecak seraya memejamkan mata bikin setres. Gio memakai jaket hoodie. Dia bawa laptop juga gawai dan brosur tadi dimasukkan ke totebag.

"Gio berangkat dulu, ya." pamit Gio pada ratna di dapur.

Ibunya menganguk.

Gio jalan pelan menuju kediaman Langit dimalam hari tepat pukul delapan malam. Dia menngirm pesan tak peduli jika Langit tak balas ataupun membalas, itupun Gio tak peduli. Dia datang hanya mengikut tutur ibunya.

Pintu diketuknya dilirik sekitar teras lalu daun pintu terangkat. Mengulang kenangan permen kapas. Gio tak sadar menyungingkan sebuah senyum.

"Eh, Gi, ada apa malam gini?" Wati berseru ramah.

"Ada Langitnya, Bu?"

Wati menganguk, "Masuk aja, Langit di dalam."

Gio menganguk masuk menuju kamar Langit. Dia berhenti lagi tak putar daun pintu kamarnya. Dahinya menyentuh punggung pintu seraya terpejam.

Garis Langit [BL]Where stories live. Discover now