XIII. Vanilla

19K 1.2K 5
                                    

Sabtu pagi, kedua sahabat kembali berjanji untuk mengadakan pertemuan di sebuah kafe yang baru saja buka di dekat kantor Alexa. Keduanya memilih menepi, mengambil tempat duduk di sebuah pojok dan menikmati segelas americano dan dessert manis.

Aroma kopi telah mengepul dari coffee maker di meja kayu mengilap. Sang barista pun sibuk mencampur beberapa bahan hingga menjadikan secangkir minuman yang nikmat saat bertemu lidah.

Para pengunjung terbawa dengan suasana hangat yang disebabkan aroma kopi dari tiap cangkir yang mengepul itu. Tidak terkecuali dengan kedua sahabat yang agaknya juga ikut menikmati suasana hangatnya.

"Bagaimana, kau sudah dapat pekerjaan?" Alexa menyuapkan sesendok cheese cake ke dalam mulut. Rasa manis berpadu gurih terasa pas menyapu lidah setelah merasakan getirnya kopi.

Eleanora menggeleng. "Belum, tapi kau tahu sisi baiknya? Aku bisa menikmati hidupku dulu. Kau tahu aku rindu aroma khas negara ini?" Eleanora membuka tangannya lebar-lebar, kedua kelopak matanya menutup, ia menghirup napas panjang seakan menikmati aroma khas dari atmosfer penuh polusi itu di kota metropolis itu.

Gadis berambut cokelat yang tengah mengenakan hoodie abu-abu itu menggelengkan kepala kecil, merasa aneh dengan jawaban sang sahabat. "Apa Italia berbau seperti pizza atau mozarella? Bukankah semuanya sama saja?" tanya wanita itu skeptis.

Alexa melipat tangan di depan dada. Tubuhnya menyandar rileks pada sandaran kursi.

"Bukan itu maksudku, Lex. You know just chill and enjoying the vibes. Aku rindu kehidupan di kota ini." Ada senyuman kecil di wajah Eleanora meski pandangan matanya tampak menerawang. Entah apa yang ada dalam bayangannya kini, yang pasti salah satunya adalah memori indahnya.

"Wow aku tidak percaya kau bisa se-touchy ini, El."

"Seberapa buruk pun kota ini. Tidak ada yang lebih baik selain kampung halaman, kau tahu seberapa jauhnya kau mencari tempat singgah, kau akan tetap merindukan rumah bagaimanapun keadaanya. Bukan hanya bangunannya, maksudku orang-orang yang kau kenal di sini, orang-orang yang membuatmu merasa di rumah."

Alexa mengangguk, kali ini menyetujui omongan sahabatnya yang terdengar masuk akal. Sejauh apa pun seseorang mengembara mencari petualangan di tempat singgah baru, pasti ada kalanya ia merindukan rumah. Suasananya, keakrabannya, orang-orang yang ada di sana. Merasa di rumah bukan berarti harus berkumpul akrab dengan seseorang yang memiliki hubungan darah. Cukup satu atau dua orang yang membuatmu merasa nyaman, rileks, dan melepaskan beban pikiran.

"Cukup membahas soalku, bagaimana denganmu, Lex. Kau punya kabar mengejutkan yang baru huh?"

Alexa mengajak Eleanora bertemu sepagi itu memang bukan hanya sekadar untuk basa-basi seperti biasanya, melainkah dia butuh bercerita mengenai beban yang mengganjal di hatinya. Apalagi setelah pertengkaran mereka dua hari lalu.

Alexa menghembuskan napas kasar, lalu dia memutar matanya bosan. "Dua hari lagi aku akan ke Wyoming bersama beruang kutub itu." Ada mimik mengejek ketika dia menyebutkan sebutan itu.

"Beruang kutub? Maksudmu Sean?" Eleanora terkekeh setengah puas.

"Siapa lagi?" Alexa mencebik.

"Okay-okay. Lalu apa berita buruknya."

"Tiga hari setelahnya, kami dijadwalnya ke Hawaii."

Netra Eleanora kontan membelalak. "Wow bukankah ...."

"Shhh ...." Alexa mendelik ketika sang sahabat memotong perkataannya. Setelah mendapat tatapan tajam itu Eleanora pun langsung bungkam.

"Berita buruknya?" lanjut Eleanora lebih lirih.

Unsweetened Marriage ✔Where stories live. Discover now