XLV. Rabbit Hole

17K 1K 28
                                    

Malam semakin larut ketika pria berbadan tegap itu masih sibuk mondar-mandir di kantor lain miliknya. Meski baru saja melakukan perjalanan jauh melalui udara, pria itu masih enggan untuk duduk santai di kursinya.

Sepasang mata biru itu masih terbuka lebar, tubuhnya terjaga sempurna. Berkali-kali ia mondar mandir, mencari sumber pustaka yang dia butuhkan untuk mencocokkan dengan potongan foto berisi bukti yang tercengkram kuat di tangan.

"Ini sudah jam 2 pagi, Tuan." Sang asisten tiba-tiba hadir di sampingnya, pria itu muncul dari kegelapan di balik pintu.

Sang Tuan tampak tak peduli dengan informasi itu. "Lantas?"

"Anda butuh istirahat untuk rapat besok pagi." Sang asisten kembali membeberkan fakta itu.

Ia memang butuh istirahat, tubuhnya bahkan telah memberikan alarm tanda butuh untuk berhenti. Namun otaknya masih bekerja keras untuk menghubungkan satu sama lain. Batinnya tak tenang karena banyak hal.

Dan dia pun tak yakin jika membaringkan tubuh, dia akan mudah untuk terlelap. Karena satu fakta yang tidak bisa ia tepis adalah ia tidak mungkin mampu menutup mata tanpa melihat kembali kilas balik momen saat air mata di mata abu-abu itu tumpah beberapa hari yang lalu. Teringat hal itu membuat Sean makin frustasi.

"Aku harus menyelesaikan ini sebelum besok pagi."

"Tapi kita masih harus menunggu hasil investigasi dari para ahli Tuan. Anda harus menenangkan diri dan istirahat lebih dulu."

"Bagaimana aku bisa tenang jika bukti-bukti ada di tanganku. Alyssa menunjukkan kematian tidak wajar, Charles. Apa kau mengerti!"

Sean melemparkan lembaran-lembaran foto itu ke atas meja. Dia menghela napas kasar. Sebelum melemparkan tumpukan berkas lainnya hingga kertas-kertasnya tercecer berantakan di lantai marmer. Emosinya menggebu-gebu, rasa frustasi dan khawatir menghantam kuat. Semua tekanan emosi yang dia terima seolah membuat kepalanya nyaris pecah.

Charles yang melihat sang bos kehilangan tempramen tetap berdiri dengan tenang. Seolah dia telah siap menghadapi apapun termasuk tempramen sang bos.

"Tidak ada tanda kebiruan di kukunya atau bintik-bintik merah di mata seperti seseorang yang meninggal karena kelainan kardiovaskular. Hanya bibirnya yang membiru, dan tidak di bagian tubuh lainnya."

Sean mengusap kepalanya frustasi. Ia masih mengatur napas sampai merasa sedikit lebih tenang. "Ancaman ini benar-benar nyata Charles. Dia mungkin kembali, dan membahayakan siapapun yang berstatus Williams atau orang-orang terdekat kami."

Charles terdiam, mengamati sang bos yang menghela napasnya lelah.

"Sayangnya Wilsons menolak autopsi. Kita tidak bisa berharap lebih dari menunggu penyelidikan tim kita, Tuan," ucap Charles tenang. Dia lagi-lagi membeberkan fakta pahit yang sulit diterima semua orang.

****

Alexa duduk di bed rumah sakit setelah seorang dokter Obgyn yang sempat memeriksanya kembali dan membawa lembar hasil tes laboratorium. Perempuan paruh baya itu menyatakan bahwa ia tengah mengandung. Tentu tidak ada yang lebih membahagiakan dari ucapan dokter yang mengonfirmasi bahwa ada janin yang tengah tumbuh dalam rahimnya. Namun kebahagiaan dan kelegaan itu tidak bertahan lama sampai dokter kembali angkat bicara.

"Kadar hCGmu lebih tinggi dari normal. Aku akan melakukan ultrasound untuk memastikan jika hanya ada satu bayi di dalam sana. "

Glek. Alexa menelan ludah susah payah. Bagai baru saja diberi kejutan, ucapan sang dokter membuatnya nervous luar biasa. Memiliki satu bayi saja sudah membuatnya nervous sekaligus gelisah. Apalagi membayangkan menjadi single mom dengan menggendong dua anak kembar. Darahnya seolah berdesir cepat hingga paru-parunya seolah ditekan.

Unsweetened Marriage ✔Where stories live. Discover now