XLIV. Unexpected Surprise

18.1K 1.1K 20
                                    

Pria itu masih termenung. Berdiam sendirian di kantor saat malam makin larut. Hanya ada secangkir kopi tak tersentuh yang mulai dingin dan laptop menyala yang menemaninya di tengah keheningan mencekam di bagian tertinggi dalam gedung pencakar langit itu.

Keheningan itu memang terasa lebih baik daripada dia harus menghabiskan sisa malamnya di mansion sendirian.

Sudah beberapa hari dia seperti ini, menghabiskan waktu untuk tinggal di kantor hingga larut malam bahkan di saat semua karyawan yang bekerja telah kembali ke hunian masing-masing. Hanya penjaga keamanan yang tersisa, bekerja di shift malamnya, dan tak berani mengganggu sang bos. Setidaknya tidak setelah dia mendapati wajah sang bos yang dingin dan kaku.

Pria itu memang jarang pulang akhir-akhir ini. Dia tak lagi merasa bangunan yang dia bangun sendiri itu sebagai rumah, tempatnya untuk pulang. Atmosfer di dalamnya tak lagi sama setelah wanita itu pergi.

Ya, kepergian wanita itu ternyata membawa dampak perubahan besar dalam hidupnya. Kini seolah sebagian besar hidupnya di koyak paksa untuk berpisah dengan bagian yang tersisa.

Setidaknya wanita itu lebih baik seperti itu. Dia juga belum bisa mempercayai siapapun sekarang.

Sean menghela napas ketika pikirannya terlempar paksa pada tiap-tiap kilasan kejadian yang dia lewati bersama perempuan itu. Selama hampir enam bulan terakhir, ternyata begitu banyak memori yang tercetak bersama wanita itu. Seberapa banyaknya dia mengenyahkannya, bayang-bayang itu tetap kembali. Semua memorinya bersama Alexa seolah terpatri permanen di dalam otaknya.

Namun ada satu memori yang terus mengganggu benak Sean selama beberapa hari terakhir. Memori itu terus membayanginya bahkan saat dia terjaga dan di tengah tidurnya. Memori kuat itu adalah saat wanita itu menyatakan cintanya dan menangis setelahnya. Hati Sean seperti di remas kuat setiap kali mengingat kejadian itu. Rasa ngilu pada hatinya itu kembali, luka yang menganga itu bahkan belum tertutup sempurna tapi seolah terpaksa dibuka kembali setiap dia mengingat tetes demi tetes air mata yang terus berjatuhan dari netra abu-abu itu.

Sean mendesah kala rasa bersalah mulai kembali menghujaninya, dia lantas mengalihkan pandangan pada pantulan kaca. Wajahnya datar, ekspresinya masih dingin seperti biasa. Namun kini pandangan netra biru itu tampak kosong.

Sean masih menahan pandangannya pada jendela yang langsung menampilkan landscape malam kota itu sampai seseorang membuka pintu.

"Lexa," nama itu lolos begitu saja tanpa kontrol. Seperti sebuah kebiasaan, karena hanya wanita itulah yang kadang berani menyelonong tanpa mengetuk pintu.

Namun sosok yang muncul selanjutnya membuat dia membuang napas kasar. Bukan dia yang Sean mau, hanya wanita itu. Hanya wanita itu yang ada di angannya.

Pria itu menunduk sopan, sebelum bicara. "Sir, Nyonya Alexa telah resign tiga hari yang lalu. Apa anda ingin membuka lowongan kerja baru?"

Pria yang tengah bicara dengannya itu adalah personal assisten yang bertugas sebelum Alexa hadir di perusahaan. Karena keberadaan wanita itu lima bulan lalu, dia pun dipindah tugaskan sementara di bagian sekretaris. Bisa dibilang pria itu adalah tangan kanan Sean sekaligus seseorang yang menghandle sebagian besar bagian paling gelap di dalam usaha ini. Dia adalah seorang penasehat sekaligus sosok pertama yang bergerak untuk mendapat perintahnya. Dia sempat berbagi tugas dengan Alexa saat wanita itu hadir. Namun karena kini wanita itu telah pergi, Charles pun kembali ke posisinya semula.

"Ya, laporkan segera pada HRD. Kau akan kembali menjadi personal assistenku. Dan aku ingin mengganti posisi sekretaris secepatnya."

"Baik."

"Mengenai barang-barang ini apa kau ingin menyingkirkannya? Nyonya...." ucapan Charles terhenti ketika Sean meliriknya tajam. "Ehm maksudku Mrs. Alexa sepertinya tidak ingin mengambil sisa barang-barang ini."

Unsweetened Marriage ✔Onde histórias criam vida. Descubra agora