XXIII. Reverie

17.8K 1K 6
                                    

Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Alexa semenjak dua hari terakhir. Wanita itu begitu tenang, tidak berontak, dan tidak berusaha membuat komentar menohok seperti biasanya.

Sebuah keganjilan yang membuat Sean menjadi khawatir. Alexa tampak sangat pasif semenjak kejadian ia memergoki wanita itu tengah menangis di kamarnya. Alexa seakan memberi jarak. Seolah terlalu dekat dengannya akan membuat wanita itu kesulitan bernapas.

Dalam dua hari ini Sean tidak sedikitpun mengungkit-ungkit hal itu. Bukannya tidak berusaha, hanya saja Sean tidak punya kesempatan untuk membawa topik itu ke dalam pembicaraan.

Alexa memang masih merawatnya seperti biasa. Tiga kali sehari dia akan menengoknya di kamar untuk mengecek suhu badannya dan membawakan makanan sesuai waktu makan. Wanita itu bahkan memastikan ia masih meminum obat secara rutin. Meski tanpa suara, dan dengan mimik kecil yang Sean tidak dapat artikan.

Dan saat Sean berusaha membuka suara dengan sekedar sapaan kecil. Wanita itu bahkan masih diam, tatapannya selalu tertunduk atau jika tidak, ia akan memandang kosong ke lantai atau langit-langit.

Sean benar-benar bingung atas perubahan tingkah Alexa yang mendadak. Ia merasa tidak ada hal buruk yang terjadi kemarin. Ia bahkan pulang dalam keadaan sakit dan tidak mengeluarkan cerocos yang mungkin menyakiti hati wanita itu. Dan Alexa pun baik saat menyapa kedatangannya pagi itu, wanita itu bahkan masih bisa tersenyum saat bercakap dengan dokter Melissa selepas wanita itu memeriksanya.

Begitu membingungkan, dan membuat kepala Sean mulai berdenyut. Seingatnya dia hanya tertidur siang itu dan saat wanita itu mengeceknya dia malah menangis sesegukan.

Mungkinkah sesuatu yang begitu buruk terjadi pada Alexa namun wanita itu berusaha menyembunyikannya. Atau, ini ada hubungannya dengan kesepakatan wanita itu. Tapi bukankah dia mengatakannya dengan sukarela. Ia bahkan tidak pernah memberikan ide itu pada Alexa. Malahan dialah yang berinisiatif memintanya.

Sean bertekad akan berusaha bicara lagi dengan Alexa siang ini. Jam makan siangnya hanya tinggal beberapa menit saja. Mungkin Alexa akan datang saat itu. Karenanya, ia perlu mencoba lagi untuk bicara dengan wanita itu. Ia tidak bisa tenang karena memikirkannya.

Sean menengok ke jam yang menempel di dinding. Dilihatnya berulang kali benda itu namun jarum yang terus berputar searah itu masih sama cepatnya. Ia hanya butuh menunggu dengan sabar.

Hingga derit pintu terbuka kembali. Tubuhnya pun menegang.

"Lex..." panggil Sean memastikan.

Namun sosok yang muncul selanjutnya di luar dugaan. Dan tentunya bukan sosok yang dia harapkan. Rona di wajah Sean memudar. "Oh Caleb. Apa yang kau lakukan di sini?"

Sahabatnya itu diam di depan pintu. Wajahnya yang awalnya cengengesan kini menekuk ke bawah. Ucapan Sean barusan pasti berhasil menyentil sesuatu di dalam otaknya.

"Apa yang kau lakukan di sini." Caleb menirukan ucapan Sean dengan mimik mengejek. " Bisakah kau menyapaku dengan lebih baik. Aku berniat baik dengan datang menjengukmu kemari."

"Oh sorry. Aku hanya sedikit tidak percaya kau datang kemari," balas Sean turut mengejek.

"Kau mengharapkan Alexa bukan, tanpa menduga jika akulah yang datang," tebakan Caleb terdengar seperti tonjokan yang di alamatkan langsung ke hatinya. Sesuatu yang begitu benar, dan tepat sasaran. Meski ia berusaha mengeyel dengan pikirannya sendiri tapi hatinya tahu bahwa itu adalah kebenaran mutlak, sebuah tebakan yang akurat.

Hening, tidak ada sedikitpun kata-kata ataupun bantahan yang keluar dari mulut Sean. Itu cukup untuk menjawab rasa penasaran Caleb, meski sejak awal dia menebak jika artinya ya. Caleb hafal jika Sean diam, itu artinya sahabatnya tengah berusaha menyembunyikan sesuatu.

Unsweetened Marriage ✔Where stories live. Discover now