DASA 10

62.4K 6K 1.5K
                                    

DUG! DUg! Dug! Dug! Dug! Dug!...

Bola basket itu menggelinding setelah didribble beberapa kali oleh seseorang yang tengah duduk di tribun paling depan lapangan indoor.

Cahaya pagi menembus tiap-tiap ventilasi gedung sisi atas, membuat ruangan ramai itu terlihat terang dan cukup bising.

Ada tiga kelas yang sedang berolahraga di sana. Kelas Rey; XII A-1, Kelas Asa; XII S-1, dan Kelas X-2.

Di SMA Cassiopeia, penjurusan dimulai sejak kelas 11. Saat kelas 10 mereka akan tercampur rata, lalu mereka akan dipantau sesuai kemampuan untuk menentukan mereka masuk ke IPA, IPS, atau Bahasa.

Karena itu Rey, Clara, Asa, dan Elvan pernah menjadi teman sekelas. Lalu, mereka dipisahkan ketika kenaikan kelas 11 karena penjurusan hingga saat ini, kelas 12.

Rey meneguk air minumnya hingga tandas. Dari botol transparan itu, dia dapat melihat Asa yang sedang bermain voli di lapangan sisi kanan.

Rey menutup botol, lantas meletakkan benda itu di sampingnya. Arah mata Rey masih fokus menatap Asa, tepatnya, masih sama seperti satu tahun yang lalu...

"Asa cantik ya, Rey?" Suara itu terngiang, diikuti rekaman bayang-bayang Clara yang duduk di sampingnya.

"Lebih cantik yang barusan nanya sih," balas Rey menoleh ke arah Clara yang tersenyum, namun dengan alis tertaut.

"Kenapa?" tanya Rey. "Ada yang salah?"

Clara menggeleng, senyumnya masih merekah, bahkan lebih lebar dari sebelumnya. "Tapi kamu sukanya sama Asa, kan?"

Rey tersenyum singkat sembari melihat Asa yang tengah berpegangan tangan dengan Elvan di lapangan, Elvan sepertinya sedang modus mengajari Asa bermain basket hari itu.

"Mulai sekarang, gue sukanya sama lo, Ra!" putus Rey.

"Jangan bohong, Rey. Kamu mungkin bisa boongin diri kamu sendiri, tapi ga bisa kalo ma aku Rey. Kamu masih suka kan sama Asa?"

"Enggak!" Rey menggeleng tegas. "Gue nggak akan pernah mau sama bekasannya Elvan."

Clara tertawa pelan. "Bekasan, bekasan, kamu pikir Asa barang?"

"Lo nggak tau aja gaya pacarannya El kek gimana, dia--" Tiba-tiba Rey berhenti berbicara.

"Emangnya dia gimana?" Clara memiringkan kepalanya, wajah itu semakin dekat menatap Rey penuh tanda tanya.

Setiap cewek yang deket sama Elvan itu pasti bakalan rusak! Batin Rey miris membayangkan Asa akan menjadi korban berikutnya.

"Nggak apa. Lo nggak perlu tau, masih bocil."

Clara tersenyum senang, dia terkekeh ringan karena Rey mengatainya bocil saat itu. Perlahan, tangannya bergeser hingga menangkup di atas tangan Rey.

          

Hangatnya tangan itu masih terasa. Saat ini Rey menatap tangannya sendiri yang menangkup di samping, seolah ada tangan Clara di sana yang kian menghilang.

"Nggak usah buru-buru, Rey. Kamu bisa sukai aku pelan-pelan, aku bisa nunggu."

Rey masih ingat saat Clara menepuk pelan kepala sisi sampingnya, gadis itu terlihat sangat bersemangat dan bahagia.

Rey hanya tersenyum simpul menanggapi ucapan Clara, senyum yang seolah dipaksakan, seperti ada kekosongan di matanya.

Seandainya saja, jika saat itu Rey lebih tegas lagi dan menyuruh Asa menjauhi Elvan. Apakah mungkin kehidupan Asa akan sedikit berubah?

Rey tidak tahu, karena yang dia lakukan saat itu justru menjauh dan mulai menanam rasa bencinya pada Asa secara perlahan.

"Huwek!" Asa mual, dia langsung menutup bibirnya dan berhenti berlatih voli.

"Huwek!" Mualnya semakin parah dan membuat beberapa murid refleks mengalihkan perhatiannya ke tempat Asa berada, termasuk Rey.

Asa menyapukan pandangannya ke sekeliling, banyak orang yang menatapnya bingung. Tidak mau membuat keadaan semakin absurd, Asa langsung berlari keluar dari gedung olahraga.

"Huwek!"

Asa berusaha memuntahkan isi perutnya di closet duduk, posisinya berjongkok di depan closet dengan kepala menunduk di atas closet. "Huwek!"

Tidak ada yang keluar, tetapi Asa merasa sangat mual. Tubuhnya terasa berat dan sedikit bergetar, kepala tiba-tiba terasa berputar, dia pun menggeleng pelan agar fokusnya kembali lagi.

Asa menekan guyuran closet sambil mengusap bibirnya menggunakan lengan jaket seragam olahraga. Dia keluar dari bilik toilet ujung, lalu berjalan mendekati wastafel panjang.

Gadis itu membasuh wajahnya berkali-kali, kemudian terdiam dan membiarkan kran wastafel menyala.

Asa mengamati bekas-bekas luka yang menghiasi tangannya, terasa sangat menyakitkan. Bukan, bukan lukanya, melainkan hatinya.

***


Nggak mungkin, kan? Asa kini sedang berjalan keluar kelas, bel pulang baru saja berbunyi, dia mencari sesuatu di internet karena merasa aneh.

Tidak! Ini tidak mungkin! Semuanya pasti kebetulan, Asa merasa mual, pusing, lelah, sering buang air kecil, dan tidak nafsu makan. Semua itu pasti hanya kebetulan! Dia, dia mungkin hanya kelelahan belajar dan kurang tidur!

Detik yang sama, Rey berdiri di jajaran motor yang terparkir menutupi motornya. Dia terpaksa menunggu pemilik motor agar motornya yang berada di depan itu dapat keluar dengan aman.

Tempat parkir mulai ramai, di jalan menuju gerbang juga terlihat penuh dengan anak-anak Cassy.

Namun, dalam satu kesempatan, Rey masih dapat melihat Asa yang berjalan cepat keluar gerbang. Moment itu mengingatkannya pada masa lalu, tepatnya satu setengah tahun yang lalu...

"Asa!" panggil Rey di tempat yang sama.

"Ih ngapain dipanggil, dia mau kencan sama Elvan." Clara datang dan memeluk lengan Rey.

"Hah, mereka udah jadian?"

Clara mengedikkan bahunya, seolah tidak peduli. Dan benar saja, Elvan terlihat mengikuti Asa dari belakang. Cowok itu menahan lengan Asa yang hampir keluar dari gerbang sekolah.

DASA (END)Where stories live. Discover now