DASA 33

57.3K 6.5K 6.7K
                                    

"Bu Nisha bilang kamu suka menyakiti diri sendiri?" tanya seorang Psikiater yang kini duduk di kursi kerja sambil menulis data-data pasien barunya. "Dan beberapa hari belakangan semakin parah?"

Asa hanya mengangguk sebagai jawaban, seraya menekan pangkal kuku ibu jari menggunakan kuku ibu jari yang lain hingga kulitnya mengelupas. Tanda bahwa Asa sedang cemas.

Psikiater itu menatap tangan Asa sejenak, lalu Asa akan berhenti melukai tangannya. "Pernah menemui Psikiater? Atau ini yang pertama kalinya?"

Psikiater itu menatap Asa dan langsung tau hanya dengan melihat wajah Asa yang super cemas. "Ah, ini yang pertama kali ya?"

Psikiater itu kembali mencatat data-data Asa sesuai dengan pengamatannya hari ini, termasuk bagaimana cara Asa melukai pangkal kukunya saat cemas.

"Sejak kapan kamu melakukan itu, dan kenapa?" tanyanya lagi tanpa melihat Asa.

Asa menggeleng lemah. "Entahlah, saya tidak ingat."

Psikiater itu berhenti menulis, lalu mengaitkan jemarinya sambil memandang wajah pasiennya. "Kapan terakhir kali kamu menyakiti diri sendiri? Atau berusaha ingin mengakhiri hidup?"

Asa tidak menjawab, dia menunduk seperti enggan untuk bercerita tentang dirinya.

Psikiater itu memegang tangan Asa yang berada di atas meja kerja. "Asa, ingatlah satu hal. Jika kamu tidak mau membuka diri, kamu tidak akan pernah sembuh."

"Coba jelaskan saja bagaimana perasaanmu waktu itu." Psikiater itu mengamati wajah Asa lekat-lekat, seolah sedang membaca pikiran Asa.

"Depresi, mungkin?" jawab Asa ragu-ragu. "Cemas, stress, lelah, dan sesuatu yang sangat sulit untuk saya jelaskan."

"Apa kamu sangat depresi belakang ini? Atau ada sebab tertentu yang mendorong kamu melakukan hal itu?"

Asa mengangguk. "Iya, ada."

"Bisa ceritakan?" pintanya lemah lembut.

Asa kembali diam, merasa sangat asing menceritakan tentang dirinya pada orang lain. Terlebih lagi pada orang yang baru ia kenal, meskipun wanita itu psikiater Asa tetap saja merasa tidak nyaman.

"Ada yang bisa kamu ajak bercerita? Teman, keluarga, atau semacamnya?"

Asa lagi-lagi membisu.

"Asa, memiliki sistem pendukung sangatlah penting dalam proses penyembuhan. Seseorang yang dapat kamu ajak bercerita dan mengatakan semua tentang apa yang sedang kamu rasakan."

"Papa, mungkin." Asa memegang perutnya yang sedikit buncit. "Atau Rey, Bunda Nisha."

Psikiater itu melihat ekspresi murung di wajah Asa. "Coba kita bahas tentang Papa kamu lebih dulu."

"Kenapa harus Papa?"

"Saya psikiater, tentu saya harus bertanya tentang keluargamu."

Perlahan, Asa menceritakan semuanya. Tentang Liam yang dulu selalu menuntutnya untuk sempurna, sampai akhirnya Elvan datang di kehidupannya, lalu kehamilan Asa yang ternyata membuat Papanya berubah, juga masalah Rey dan Clara.

"Pernah mencoba melampiaskannya dengan hal lain?" Psikiater itu mulai memahami Asa. "Menulis, mencurahkan segala perasaanmu ke dalam buku, menggambar, mendengarkan musik, atau satu hal yang paling kamu sukai?"

Asa menggeleng.

"Sepertinya kamu belum bisa menerima diri kamu sendiri. Kamu merasa benci pada diri sendiri, tetapi juga tidak bisa berhenti untuk melukai diri sendiri."

"Asa, kalau kamu mau sembuh, kamu harus bisa menerima diri kamu sendiri. Sakit itu bukan masalah, semua orang pernah sakit, dan kita harus berjuang untuk sembuh."

DASA (END)Where stories live. Discover now