DASA 17

51K 5.8K 3.2K
                                    

"Mari kita periksa keadaan janinnya!" kata Sang Bidan setelah mengobrol panjang bersamaan Asa dan Liam.

Sejenak Asa tatap Sang Ayah yang duduk di sampingnya, Liam hanya mengangguk satu kali sebagai kode agar Asa menurutinya.

Asa pun mengikuti perintah Bu Acil menuju brankar pemeriksaan di sisi kanan ruangan. Gadis itu berbaring setelah Acil menutup penuh hordeng putih agar pemeriksaan mereka lebih intim.

Asa memejamkan matanya begitu aroma obat yang khas menusuk indera penciumannya. Sungguh, dia sangat takut dan malu. Bidan tadi cukup menyinggung usianya yang teramat muda, apalagi tanpa ayah.

Acilia menutupi tubuh bagian bawah Asa menggunakan selimut tipis, kemudian menyingkap sweater Asa hingga sebatas dada.

Wanita berjas putih ala bidan itu mengarahkan probe yang telah diolesi gel ke atas perut Asa, lantas menyapukannya ke seluruh permukaan perut.

Seketika itu terdengar bunyi berisik dari monitor, Asa mengeratkan cengkramannya pada selimut. Merasa cemas, maklum pengalaman pertama.

Tak lama kemudian, gambar hitam tak beraturan terlihat, hingga akhirnya berubah menjadi detakan jantung yang teratur.

Asa membelalakan mata sambil mengigit kukunya, semakin cemas. Bayangan saat ia ingin membunuh janin itu terlintas, Asa merasa sangat bersalah karena sempat berpikiran sesempit itu.

"Usianya sudah memasuki minggu sembilan, dia sehat." Acil menyudahi pemeriksaannya, beliau meletakkan probe ke tempat semula dan mematikan layar monitor.

"Sangat beresiko jika melakukan aborsi, apalagi di usiamu yang masih sangat belia." Acil kembali duduk di kursi kerjanya, berhadapan dengan Liam dan Asa yang baru turun dari brankar samping.

"Pendarahan berat, cedera pada rahim atau infeksi akibat aborsi yang tidak tuntas mungkin, bisa juga mengalami kemandulan, atau kehamilan ektopik pada kehamilan berikutnya."

"Pasti bisa meminimalisir kemungkinan itu kan, Dok?" tanya Asa. "Minum obat, suntik, atau yang lain--"

"Nak Asa, kehamilan ini sudah memasuki usia lebih dari dua bulan. Terlalu beresiko, dan saya tidak bisa menjamin akan baik-baik saja."

"Saya dokter kandungan, tugas saya menjaga kesehatan ibu hamil dan anaknya hingga proses persalinan selesai. Bukan membunuh janin seperti apa yang Anda bicarakan."

"Tapi--" Liam memegang tangan Asa sehingga Asa berhenti berbicara, gadis itu menoleh ke arah Sang Ayah.

"Nggapapa, Asa," ucap Liam lembut seraya menggenggam tangan Asa dengan kedua tangannya.

"Nggapapa," ulang Liam mengamati putrinya lekat-lekat. "Ada Papa, Sayang. Ini bukan masalah besar, hm? Pasti ada jalan, percaya sama Papa."

Liam menarik tubuh Asa menyandar ke dalam dekapannya, pria itu mengusap-usap lengan atas dan pundak Asa seolah sedang menyalurkan kekuatan pada Sang Putri.

Sikap Papanya yang seperti ini justru membuat Asa semakin bersalah, Asa semakin menyesal karena sudah melakukan hal berdosa seperti itu tanpa memikirkan konsekuensi yang akan ia dapatkan.

Asa benar-benar tidak menyangka, Elvan yang ia pikir adalah kebahagiaannya itu justru tidak ada di sisinya ketika Asa berada di titik terendahnya.

Orang yang tetap berada di sisinya justru Sang Papa, orang yang benar-benar sayang padanya adalah Papanya sendiri.

Sosok yang Asa pikir tidak akan pernah memberikannya kebahagiaan, sosok yang Asa kira akan selalu membencinya, dan sosok yang sempat Asa sesali karena telah menjadi Papanya.

DASA (END)Where stories live. Discover now