18

2.2K 239 113
                                    

Sisa kurang dari seminggu Bayu habiskan gak cuman buat mempersiapkan pameran, tapi juga rajin kutuk nama tunggal yang kian waktu interupsi pikirannya kala terbengong.

Sandi Bintara.

Nama familiar yang nyaris seumur hidupnya dia kenal, yang keberadaannya rasanya gak pernah semengesalkan ini.

Hari ketika pameran berlangsung dihadiri oleh semua mahasiswa kelasnya. Gantian jaga stand atau cuman sekadar nongkrong ngobrol bareng teman-teman, yang penting nama dan presensinya tetap hadir selama acara berlangsung.

Harusnya sih begitu, namun nyatanya pikiran Bayu malah berkelana gak di satu tempat—bahkan kayak memang gak berfokus pada pameran sama sekali.

"Lo kenapa sih, anjir? Mules kebelet berak?" tanya Azka yang gemas lihat tingkah Bayu yang banyak diam tapi dahi sering terlipat. Berasa kayak punya beban utang cicilan rumah.

"Gue gak kebelet berak." jawabnya. "Gue pengen pulang."

"Sabar, jam 1 entar juga udah—"

"Tapi gak mau pulang juga."

"Kenap—"

"Tapi mau pulang, tapi gak mau."

"...."

"Tapi kepengen pulang, tapi gak mau—gak sekarang, maksudnya. Gak hari ini—duh, apa gue cancel aja ya? Tapi sayang udah pesen tiket. Tapi pengen cepet pulang juga, ngapain lama-lama di sini?"

"NAPA SIH ANJIR, GUA GAK NGERTI—"

"Gua ceritain juga elo gak akan ngerti. Udah, diem aja."

Azka one steap ahead to slap Bayu's head brutally. Tapi gak dilakuin sih. ujung-ujungnya Azka tinggal ngeloyor pergi jajan.

Dan, yah... waktu tetap bergulir. Tahu-tahu sekarang sudah pukul setengah 6 sore kurang 5 menit. Bayu berdiri anteng di depan pagar kosannya dengan tas ransel—yang 70 persen cuman keisi angin—di punggung, menunggu jemputan.

Sepuluh menit kemudian, datang tuh mobil silver berhenti persis di hadapannya.

Sesaat jantungnya sempat mencelos melihat kedatangannya dari jauh—lebih terutama karena plat nomor yang disebutkan olehnya—sebelum mendekat memasuki mobil ke bagian penumpang.

"Kenapa gak ketemuan di tempat travelnya aja sih? Biar sekalian," dumel Bayu.

Dan biar gue juga gak cepet ketemu elo.

Tapi Sandi tetaplah Bintara. Alias bangsat.

"Suka-suka gue. Lagian gue juga yang bayarin grabcar-nya."

Ya iya sih...

Kurang 15 menit perjalanan macet di petang itu dihabiskan diam satu sama lain. Mendadak pemandangan jejeran kendaraan yang memenuhi ruas jalan menjauhi pusat kota jauh lebih menyenangkan dilihat daripada tukar obrol para penumpang di mobil.

Bahkan sesampainya di tempat travel dan menunggu jam keberangkatan, keduanya sibuk memainkan ponsel masing-masing. Sama sekali gak terusik. Sandi bahkan sempetin nonton drama dengan earphone terpasang.

Nyebelin.

Buat Bayu, Sandi Bintara itu sangat nyebelin. Manusia paling nyebelin yang pernah dia kena, juga pacar yang paling nyebelin plus resek plus bawel plus seenaknya.

Iya, Sandi itu seenaknya banget. Bukan seenaknya nyuruh atau ngatur ini-itu, dia juga seenaknya nyelip-nyelip di pikiran Bayu selama beberapa waktu terakhir. Jadi lebih sering lagi semenjak seminggu terakhir.

Undercover ╏ SooGyu ✓Where stories live. Discover now