TL 48-Kekuatan

2.5K 167 5
                                    

Kau pun perlu memberi tau batas mana yang bisa dijangkau orang lain. -Author

"Anda tidak perlu melakukan Tes DNA nyonya. Silahkan anda menilai buruk siapa saya. Tak apa juga jika putraku tidak tau darimana ia berasal, daripada dia tau namun akhirnya ia hanya akan kecewa." Dira melepaskan tangan Ismail dan memintanya menggendong Ardi yang terlelap.

"Jika keluarga ini tidak menerima putraku, aku juga tidak bersedih. Aku siap menjadi ibu dan juga Ayah bagi dirinya. Siapakah saya berhak meminta seseorang untuk bertanggung jawab pada seseorang yang bahkan tidak mau mempertanggung jawabkan kesepakatannya." Dira menoleh ke arah Alea dan menatapnya penuh kebencian.

"Kau? Berani sekali kau membantahku. Kau harus tau posisimu." Dewinta mulai berkacak pinggang.

Dira mulai tersenyum manis memandang ibu mertunyanya. Yang nyatanya sebelas dua belas dengan Alea yang sangat bangga dengan keningratannya. Sementara Pak Ahmad hanya bisa diam sambil membaca suasana.

"Tenang saja nyonya, saya tau saya hanya pembantu dimasa lalu. Tapi sekarang, saya adalah seorang ibu yang kehidupan putranya dipertaruhkan layaknya seorang barang. Dulu memang saya sangat bodoh untuk menyerahkan hidup saya hanya demi lembaran uang kertas. Tapi tidak untuk kehidupan putra saya. Tak mengapa jika ia tidak mengerti kehidupan yang kaya seperti ayahnya, buktinya banyak anak-anak yang hidup dan berpendidikan baik sekalipun hidup orang tuanya hanya pas-pasan. Dan saya, akan mengupayakan yang terbaik baginya." Dira berkata lirih dan tersenyum mengejek.

"Nyonya, putraku tidak terlalu butuh status ningrat untuk menjalani hidup. Tapi dia perlu orang tua yang sangat bertanggung jawab dan berprinsip dalam hidupnya." Dira menoleh ke arah Alea, membuat nyali Alea ciut.

"Begitulah orang miskin selalu berbicara, faktanya, mereka juga selalu menerima bantuan dari orang kaya." Dewinta mulai mengejek Dira.

"Mbak aku mohon tenanglah sebentar. Kita tunggu juga apa yang selanjutnya ia inginkan dari kita." Pak Ahmad mencoba menetralisir keadaan.

"Apa yang kamu mau?" Dewinta menatap Dira.

"Saya hanya butuh ketenangan dalam hidup. Jangan pernah jadikan saya dan putra saya sebagai penjahat dalam kehidupan orang lain. Kami tidak ada pilihan terburuk untuk melakukan hal demikian." Dira mengusap air matanya dan berusaha setegas mungkin.

"Ibu, dia putraku." Ardhan mendekati Ismail yang menggendong Ardi. Namun Dira segera mencegatnya.

"Tuan. Jika dia putramu, dia akan memiliku berapa ibu?" Dira menatap mata Ardhan.

"Berani sekali kau mengatakan itu pada suamiku." Alea tidak terima setelah lama berdiam diri.

"Apa kau lupa mbak, pria ini juga suamiku. Aku juga ibu dari anaknya." Dira menoleh ke arah Alea.

Dewinta dan Pak Ahmad begitu terkejut mendengar ucapan Dira yang penuh kebencian, kekecewaan dan ketegasan. Ia memandang Dira yang berdiri didepan Ismail. Dan Alea terdiam.

"Kau bilang kau bisa menjadi ibu dan ayah untuk anakmu. Tapi kenapa kau mengatakan bahwa kau istri sekaligus ayah bagi putramu. Kenapa kau berkata demikian kepada Alea?" Dewinta begitu sengit.

"Apa kau punya bukti bahwa kau dan Ardhan adalah pasangan suami istri?" Dewinta mengejek Dira.

"Bukti? Bukti bahwa kami menikah?" Dira tersenyum miris.

"Bukti yang berakhir pada sah nya status saya sebagai istrinya? Untuk apa saya memusingkan status, sedangkan pria yang memiliki status nya saja tidak pernah mampu memberikan perlindungan kepada kami. Lalu apa yang perlu dibanggakan dari sebuah status?" Dira tersenyum mengejek Ardhan penuh dengan kekecewaan yang mendalam.

Jika kalian menjadi Dira, apakah kalian berani mengatakan hal ini? Cukup diam atau bahkan lebih?

Terlalu LelahWhere stories live. Discover now