TL 9- Permulaan

5.1K 244 5
                                    

Enam bulan sudah sejak malam pertama yang dilalui Dira dan Ardhan terikat dalam pernikahan, namun tak satu haripun dilewati tanpa kata-kata pedas dari sang suami.

Tak hanya sekali Alea mendengar ucapan Ardhan begitu merobek harga diri wanita jika membicarakan dan berbicara tentang Dira.

"Mas, bukankah syarat untuk hamil adalah pikiran seorang perempuan dilarang stress?" Alea membuka topik pembicaraan tatkala keduanya akan tidur.

"Ya benar. Apakah kamu stress? Aku bisa menceraikan dia." Ardhan memeluk Alea.

"Bukan aku mas, tapi Dira. Apakah mas akan memperpanjang waktu kalian bersama?" Alea mulai sesegukan.

"Inilah dirimu Alea. Jangan memaksakan apa yang tidak bisa kamu paksakan." Ardhan melepas pelukannya dan berjalan ke dekat jendela.

"Kalau mas ingin semua segera berakhir, mas bisa bersikap lemah lembut padanya. Bikin dia segera hamil, setelah dia melahirkan, maka akan selesai mas." Alea memeluk suaminya dari belakang.

"Apa kau berniat memisahkan ibu dan anaknya?" Ardhan menatap langit.

"Bukankah ia sudah menyanggupi semua ini?" Alea menghela nafas.

"Pikirkan kembali Alea, jangan sampai kau menyesali keputusanmu. Menjadikanmu wanita yang terlihat jahat bagi wanita lain." Ardhan melepas pelukannya dan pergi tidur.

"Jika ada anak diantara kita mas, aku tidak akan sepanik ini, aku tau suatu hari kau pasti akan lelah dan mencari dia yang bisa memberikanmu seorang anak." Ungkapan hati seorang Alea Ahmad, wanita cantik yang tanpa cela sedikitpun, nyatanya memiliki kekurangan, tak bisa memberikan seorang anak.

🌱🌱🌱🌱🌱

Matahri telah sepenggalah naik, pagi sekali Ardhan mengetuk pintu rumah Dira. Entah kenapa, pagi ini ia ingin sekali meminum kopi buatan gadis yang dibencinya itu.

Dengan sabar dan telaten Dira menyajikan secangkir kopi untuk sang suami.

"Tuan mau sarapan juga? Hari ini saya membuat nasi pecel." Dira menundukkan kepalanya, khas seorang pelayan didepan majikannya.

"Boleh saja." Ardhan mengikuti Dira menuju dapur sambil membawa kopinya.

Dimeja tlah terisi aneka makanan, Ardhan duduk disalah satu kursi dan mulai membuka piring. Sebuah keajaiban jika suaminya itu tiba-tiba baik dan tidak ada satupun kalimat pedas keluar dari mulutnya.

"Kenapa kamu melihat saya seperti itu?" Ardhan menatap tidak suka.

"Maafkan saya..."Dira buru-buru menunduk.

Saat sarapan hampir berakhir, Ardhan menerima telepon dari seseorang nampaknya sangat serius, terlihat ia kerap mengeryitkan dahi.

"Baiklah, aku akan segera kesana." Ardhan buru-buru keluar rumah tanpa memberi salam.

Maafkan cerita ini yg mungkin banyak typo.. karena author sedang belajar menulis.. jangan lupa tinggalkan vote dan komen..

Matur nuwun

Terlalu LelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang