9

3.4K 495 12
                                    

Jennie's Pov

Terkadang aku bertanya-tanya bagaimana rasanya bekerja di salah satu gedung-gedung tinggi Seoul, duduk di belakang komputer dengan kopi sebagai teman, makan siang secara teratur, entah bagaimana terdengar menyenangkan bagiku. Sementara aku, sepanjang hari melayani pengunjung dan melakukan berbagai pekerjaan yang melelahkan tak jarang memalukan, ada kalanya aku membenci hidup ku.

Orang-orang berpakaian rapi yang sering kutemui di jalanan atau makan siang di restoranku memang selalu tampak kusut, namun lelah diwajah mereka adalah sesuatu yang menurutku layak dengan apa yang mereka dapatkan, berbeda sekali dengan aku yang sekalipun melakukan seratus pekerjaan secara bersamaan tetap saja hasilnya tak sepadan. Tapi, yah, hidup itu kejam, tidak semua manusia bisa mendapatkan tempat terbaik dan sayangnya aku adalah bagian dari orang- orang yang tidak beruntung itu.

"Tegakkan kepalamu. Tidak boleh menyerah, ingat?" Lisa membuyarkan lamunanku.

Aku menatap kertas-kertas di tangan ku yang merupakan dokumen yang diperlukan untuk mendapatkan pinjaman dari bank. Sayangnya, aku masih saja tidak memenuhi kriteria untuk meminjam uang dan berakhir terduduk lesu di halte sambil menunggu bus untuk pulang.

"Jika aku tidak mendapatkan uangnya dalam satu bulan ini, habislah aku Lisa." Ucapku lirih.

Jujur saja aku tidak mau memperlihatkan sisi rapuhku kepada siapapun, apalagi persoalan hidupku yang menyedihkan. Namun Lisa sudah melihat semuanya saat penagih hutang itu datang, jadi kurasa tak ada gunanya menyembunyikan apapun.

"Selama kau percaya bahwa kau bisa, maka semuanya akan baik-baik saja. Kau percaya pada dirimu sendiri, kan?"

Aku mengangguk dan mencoba tersenyum. "Semuanya demi Chaeyoung!" seru ku. Berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa aku benar-benar tak boleh menyerah.

Lisa membalas tersenyum, meskipun tipis namun berhasil membuat hatiku menghangat memandanginya. Alih-alih merasa canggung, aku seharusnya bersyukur saat Lisa memaksakan diri untuk ikut bersamaku tadi, sebab jika tidak, mungkin saat ini aku akan berakhir dengan menangis sendirian.

"Ini, makanlah. Kurasa bus kita masih lama." Lisa menyodorkan sebuah sandwich kepadaku, dari bungkusnya aku bisa tahu bahwa dia membelinya di salah satu café terkenal.

Kedua alisku bertaut dengan heran seraya meraih sandwich ditangan Lisa. "Kapan kau membeli ini?" Tanyaku, sebab seingatku Lisa tidak sedetikpun beranjak dari sisiku bahkan saat aku berurusan dengan teller di bank tadi.

"Tadi, sebelum ke restoranmu." Jawabnya, kali ini seraya membuka sebotol minuman lalu memberikannya kepadaku.

"Lalu, kau tidak makan?" Aku memiringkan kepalaku untuk melihat bangku kosong disebelah Lisa, kukira dia menaruh makanannya disana tapi tidak ada apapun.

"Aku hanya membeli satu, untukmu."

Seketika aku tersedak dengan mulut yang masih penuh makanan, betapa memalukannya aku!  Kalimat sederhana seperti itu saja mampu membuat dunia seolah berhenti untuk sesaat, aish ada apa denganku!

"Kau tak apa?" Lisa bertanya sembari menepuk-nepuk punggungku dengan lembut.

Ya ampun, Lalisa! dia baru saja membuatku nyaris mati karena perlakuan sederhana namun manis itu, bagaimana mungkin aku masih baik-baik saja? Apa dia tidak melihat bagaimana wajahku? Aku saja tahu bahwa pipiku bersemu merah saat ini.

"Manusia dingin ternyata bisa manis juga, ya." Bisik ku.

Sejujurnya aku tidak tahu, entah Lisa sedang pelan-pelan berusaha untuk lebih dekat denganku dan mengambil hatiku, atau aku yang terlalu berlebihan dan menganggap perlakuan-perlakuan kecilnya kepadaku sebagai sesuatu yang luar biasa. Setelah malam pengakuan itu, apapun yang Lisa lakukan selalu berhasil membuat hatiku menghangat.

Should I Stay? (JENLISA)Where stories live. Discover now