38

1.8K 261 22
                                    

Kantin Rumah Sakit pagi ini terlihat cukup ramai, sebab hari ini mereka menyediakan sarapan gratis bagi siapa saja yang menginginkannya. Chaeyoung mendengar ini dari beberapa perawat ketika dia sedang bertanya tentang administrasi Lisa di resepsionis, dan dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk makan enak karena menu itu kebetulan adalah favorit Chaeyoung.

Namun, entah harus di katakan sebuah keberuntungan atau kesialan, ketika dia sedang mencari tempat duduk setelah mendapatkan makanan, dia melihat sosok Yena juga berada di kantin itu sendirian. Chaeyoung pun tak segan-segan mendekati gadis itu, meski berusaha menahan diri untuk tidak menjambak rambutnya.

"Aku tidak tahu bahwa setan ternyata bisa makan." Kata Chaeyoung sambil meletakkan nampan makanan-nya ke atas meja dengan sedikit hentakkan.

Yena yang sedang mengunyah makanannya dengan serius mengangkat kepalanya, lalu mendengus pada Chaeng. "Tidak bisakah kau melihat aku sedang menikmati makananku?" katanya sinis.

"Oh, tentu saja aku melihatnya. Itu sebabnya aku sengaja menghampirimu, agar kau tidak bisa makan dengan tenang. Karena sejujurnya, kau tidak pantas mendapatkan semua makanan manusia ini."

Yena menghempaskan sumpitnya dan menatap Chaeng. "Apa yang kau inginkan?" dia bertanya, menekan setiap kalimatnya.

"Ikut denganku, temui Dokter Kwon. Itu saja."

"Dokter, siapa? Dan mengapa aku harus peduli?"

Mengaduk telur goreng dengan nasi nya, Chaeyoung menyeringai. Dia kemudian menyuap sesendok nasi dan lauk ke dalam mulutnya. "Dokter Kwon, Psikiater Lisa. Dia ingin bertemu denganmu. Kenapa kau harus peduli? Entahlah, mungkin karena risikonya terlalu besar jika kau tidak mau." Katanya sambil mengunyah.

Yena tertawa hambar, menyilangkan tangan di depan dada. "Psikiater? Kalian semua membuat keputusan tanpa persetujuan keluarga Lisa sendiri?"

"Ya. Kami tidak perlu persetujuan siapa pun karena Lisa sendiri yang meminta untuk diikutsertakan dalam program ini."

"Oh ya? Kalau begitu.. kenapa masih memerlukanku untuk bertemu Dokter itu?"

Chaeyoung menatap Yena, sedikit menyipitkan matanya untuk menelisik lebih dekat wajah gadis itu, selagi masih mengunyah makanan di mulutnya. "Tidak ada yang membutuhkanmu, Choi Yena. Kau harus ikut, artinya kau tidak bisa menolak bahkan jika kau tidak mau."

"Pft.. omong kosong macam apa itu? Aku berhak menolak dan aku tidak akan kemana-mana denganmu!"

"Ah arraso..." Chaeyoung meletakkan sumpitnya, lalu melipat tangannya di atas meja. "Jika begitu, kau sudah siap melihat ibumu diseret ke kantor polisi?"

"Apa?" Yena menggebrak meja agak keras. "Kalian semua tidak punya bukti!"

"Begitukah? Bagaimana kau bisa yakin? Dengar, aku mungkin tidak punya bukti, tapi saksi dan catatan Dokter bisa digunakan sebagai bukti, apakah kau bodoh atau benar-benar tidak tahu? Lagi pula, jika kau pikir ibumu punya kekuatan untuk membuat polisi tidak bergerak, aku bisa menemukan cara lain."

"Oh ya? Kau pikir kau siapa? Kau dan kakakmu hanyalah orang miskin!" Yena tersenyum.

Kesal, Chaeyoung membungkuk dan menyambar kerah Yena, mencengkeramnya kuat-kuat. "Dengar jalang. Kau mungkin kaya, tapi bukan berarti kau bisa bebas dari apa yang kau lakukan pada Lisa. Kau melindungi ibumu yang kejam, sama saja dengan kau menutupi perilaku iblis, kau tidak mengerti itu, ya? Sekarang aku ingin kau ikut denganku, atau aku akan berteriak di sini dan memberitahu semua orang!"

"Coba saja jika kau berani."

"Kau menantangku? Oh Choi Yena, kau tidak tahu siapa aku." Chaeyoung menyeringai sebelum bangkit dari tempat duduknya.

Should I Stay? (JENLISA)Where stories live. Discover now