31

2.3K 315 22
                                    

Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaanku melihat Lisa seperti ini. Sedih? Ya. Marah? Sangat. Takut? Kurasa aku belum pernah merasa setakut ini sebelumnya, bahkan ketika ayah dan adikku meninggalkanku, rasanya tidak seburuk sekarang. Lisa membuatku merasa seolah-olah aku melihatnya berada di tepi jurang yang curam, dia bisa jatuh ke bawah sana kapan saja, dan aku bisa kehilangannya kapan saja.

Aku takut.

Ketakutanku telah sampai pada titik di mana aku tidak ingin mengalihkan pandanganku darinya bahkan untuk sedetik. Banyak hal yang membuatku bertanya-tanya setelah semua kejadian buruk ini, kepalaku terasa sangat penuh, akan tetapi aku lebih memilih duduk di sini, bersama Lisa yang sekarang tidak mau berbicara dengan siapa pun, alih-alih menenangkan pikiranku.

Tadi malam, setelah Lisa menunjukkan reaksi yang tidak terduga ketika melihat Dokter Sooyoung dan orang tuanya, semua orang kesulitan menenangkannya. Dokter harus menyuntikkan obat penenang, baru Lisa menghentikan amukannya dan tertidur. Kemudian dia bangun pagi ini dan menolak untuk berbicara dengan siapa pun, termasuk diriku.

"Kau butuh istirahat." Chaeyoung menatapku sambil menyodorkan sebotol air mineral.

Aku membisikkan terima kasih sambil memijat kepalaku. Sudah pukul sepuluh pagi, namun aku benar-benar belum tidur sama sekali sejak semalam, jadi kepalaku sangat sakit sekarang.

"Kau sudah sarapan?" Aku bertanya pada Chaeyoung yang juga terlihat lelah.

Dia menggelengkan kepalanya, merebahkan tubuhnya pada sofa hitam panjang di ruangan ini. Matanya kemudian melirik Lisa sebentar, sebelum dia menghela nafas dan tersenyum sedih.

Lisa sedang duduk di depan sebuah jendela besar yang menghadap ke taman rumah sakit. Dia tampak tenggelam dalam pikirannya sejak tadi, mungkin sekitar satu jam atau lebih. Aku tidak berani mengganggunya, jadi aku hanya membiarkan saja sambil terus memantaunya. Dokter bilang, dia tidak boleh dibiarkan sendiri, dan aku tentu saja tidak akan melakukan itu.

"Aku mau pesan makanan. Unnie mau apa?" tanya Chaeyoung.

Menghela napas dalam-dalam, aku menggelengkan kepalaku. Aku tidak tahu mengapa aku tidak merasa lapar sama sekali. Padahal, terakhir kali makanan masuk ke perutku adalah saat di pantai kemarin sore. "Tidak, aku belum lapar." ucapku.

"Kau perlu makan, Jennie unnie. Jangan keras kepala. Kau bahkan tidak tidur, jangan membuatku khawatir."

Aku terkekeh pelan melihat ekspresi wajahnya. "Arraso, pesan saja, terserah padamu."

Chaeyoung kemudian mengangkat ibu jarinya ke udara dan mulai menggulir layar ponselnya lagi. Sementara itu, aku memandangi punggung Lisa, hanya dengan melihat punggung lebar itu aku bisa merasakan apa yang gadis itu rasakan entah kenapa. Aku tahu dia tidak bisa menyingkirkan kejadian kemarin dari kepalanya.

Menghela napas lagi, aku kemudian bangkit dari kursi di samping brankar, tempat dimana aku duduk sejak tadi malam, dan melangkah dengan hati-hati untuk menghampiri Lisa.

"Cantik, ya?" Aku tersenyum ketika melihat kehijauan taman yang membuat hatiku menjadi sejuk.

Ada banyak pohon hijau yang ditanam di taman ini, dan sebuah bangunan menyerupai rumah kaca dengan berbagai bunga di dalamnya. Aku melihat beberapa pasien di sana, mereka berjalan-jalan dengan senyum menghiasi wajah mereka.

Kemudian, aku mengalihkan pandanganku pada Lisa, dan aku merasakan betapa kontrasnya perbedaan itu. Mata Lisa memang menatap semua yang ada di bawah sana, tapi jelas terlihat bahwa mata itu kosong. Wajahnya yang sempurna sekarang pucat pasi, memancarkan ketakutan, aku juga memperhatikan bagaimana jari-jarinya mencengkeram lengan kursi roda begitu erat sehingga buku-buku jarinya memutih, dan tubuhnya selalu tegang seperti sedang waspada akan sesuatu.

Should I Stay? (JENLISA)Where stories live. Discover now