32

2.4K 363 45
                                    




Mata sendu Jennie tak mampu berhenti meneteskan air mata, yang meskipun tangis itu ia coba untuk redam masih saja mengeluarkan suara. Ia menundukkan kepalanya, beradu pandang dengan lantai vinyl cokelat Rumah Sakit yang semakin malam terasa semakin dingin.

Jika kemarin adalah kekacauan, hari ini adalah patah hati yang tak pernah ia harapkan.

Namun begitu, meskipun hatinya terasa remuk mendengar kata-kata Lisa, ia tidak akan menyerah begitu saja. Dengan susah payah, ia tanamkan pada dirinya bahwa Lisa tidak bersungguh-sungguh, bahwa gadis itu masih berada pada kondisi tidak stabil secara emosional. Ia memang langsung pergi setelah Lisa mengusirnya, namun bukan untuk menyerah, ia hanya merasa perlu meredakan Lisa yang meradang tanpa sebab kepadanya. Itulah sebabnya kini gadis itu duduk sendirian di ruang tunggu yang berjarak beberapa meter dari ruang perawatan Lisa.

Jennie menyeka matanya, untuk kemudian mengangkat kepala dan mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut, menatap dinding putih dan kursi-kursi tunggu yang sejak tadi menyaksikan tangisnya. Setidaknya ia bisa bernapas lega karena tak ada orang lain yang melihat dirinya menangis.

"Sulit, ya?"

Gadis itu menoleh, dan mendapati seorang laki-laki berambut cokelat terang kini sedang menatapnya lurus-lurus. Senyuman khas yang membuat matanya menyipit mengiringi keberadaan laki-laki itu, hingga Jennie yang awalnya kebingungan kemudian menyadari bahwa dia adalah pria dari apotik.

"H-hai..aku tidak melihat kau datang.. m-maaf." Jennie gelagapan karena gugup.

"Santai saja.." Laki-laki itu mengangkat tangannya dan tertawa ringan sebelum ikut duduk di samping Jennie dan menghela napas. ""Aku melihatmu dari jauh, dan aku bertanya-tanya apa yang membuatmu menangis sendirian di sini." lanjutnya.

Jennie tertegun sejenak, merasa malu. "Kupikir tidak ada orang lain selain aku di sini. Sial, aku ketahuan." katanya sambil mencoba tertawa.

Laki-laki itu tertawa. "Sebenarnya memang tidak ada, aku mengikutimu ketika kau keluar dari kamar Lisa tadi. Tolong jangan laporkan aku karena menguntit," candanya. Dia kemudian mengambil napas dalam-dalam sambil menepuk-nepuk kaki celananya yang tampak kotor oleh lumpur. "Aku tahu ini pasti berat untukmu.. tapi kuharap kau tidak akan berhenti di sini." sambungnya.

Alis Jennie berkerut, bertanya-tanya mengapa pria itu mengatakan itu. "Kenapa kau bilang begitu?"

"Jennie-ssi." Laki-laki itu menjalin jari-jarinya dan menatap lurus ke depan. "Sebenarnya aku mendengar semuanya, apa yang Lisa katakan sehingga membuatmu keluar dengan buru-buru sambil menangis. Maaf karena menguping." Dia tersenyum canggung, lalu melanjutkan. "Aku mengatakan itu karena aku tahu kedepannya pasti akan lebih sulit bagimu. Aku mengenal Lisa dengan sangat baik, dia sudah menjauhkan semua orang dari hidupnya untuk waktu yang lama, bahkan aku sahabatnya sendiri. Dan ini adalah pertama kalinya setelah bertahun-tahun aku melihatnya bersama seseorang, saat itulah aku tahu bahwa kau pasti sangat berarti baginya. Jadi, maksudku, tolong jangan berkecil hati dengan kata-kata Lisa yang tajam dan seperti kaca, dia tidak bersungguh-sungguh."

Membasahi bibirnya, Jennie lalu berdeham dan mengangguk. Ia melemparkan senyum kecil pada laki-laki di sampingnya, senyum yang tulus dan menghangatkan. "Jangan khawatir, Bangchan-ssi. Aku tidak berencana untuk menyerah seberat apapun itu. Lisa sangat berarti bagiku, jadi aku tidak akan marah meskipun itu sulit dan menyakitkan." katanya dengan tulus.

Bangchan menghela napas seolah lega mendengarnya, lalu tersenyum puas. "Bagus, sekarang aku tidak perlu khawatir lagi."

"Benar-benar tidak ada yang perlu kau khawatirkan." ucap Jennie dengan sungguh-sungguh, "Tapi... bagaimana kau bisa sampai di sini? Maksudku, siapa yang memberitahumu tentang Lisa?"

Should I Stay? (JENLISA)Where stories live. Discover now