50

1.5K 199 14
                                    

Lisa's Pov

Aku pernah bertanya pada diriku sendiri, tentang mengapa aku sangat ingin melindungi Jennie dari semua hal yang akan menyakitinya. Aku tidak yakin antara; mungkin aku tak ingin satu-satunya orang yang kucintai mengalami kesulitan, atau aku hanya tidak ingin Jennie menjalani kehidupan yang sama denganku; penuh penderitaan. Itu sebabnya, ketika mengetahui bahwa ada sesuatu yang mengancamnya untuk alasan apapun itu, aku tidak bisa hanya duduk diam.

Untuk Chaeyoung atau Jisoo, apa yang mereka katakan itu benar. Setelah dipikir-pikir, gagasan mereka yang ingin memantau kondisi untuk sementara waktu, itu juga tidak salah. Hanya saja aku tidak bisa tenang jika tidak melakukan sesuatu.

Aku pecundang, pengecut sialan yang bahkan tidak bisa membela diriku sendiri dalam waktu cukup lama—yang membiarkan semua orang menganiayaku secara fisik serta mental. Tapi jika menyangkut Jennie, keberanianku muncul entah dari mana.

Maka pagi ini, sekitar pukul enam—saat Jennie masih terlelap, aku menyelinap keluar rumah. Berbekal informasi dari Jisoo kemarin, aku pergi ke lokasi tempat klub malam itu berada. Tidak ada yang kuketahui, entah itu nama atau detail lain tentang laki-laki ini, aku hanya berharap bisa bertemu dia dengan mengunjungi tempat ini dan memberinya pelajaran.

Aku menumpang taksi untuk sampai ke sini, untungnya tidak sulit menemukan klub tersebut karena tanda nama sangat besar di depannya, lokasinya berada di sebuah daerah terkenal, tapi selama hidup bertahun-tahun di Seoul belum pernah aku mendengar nama daerah ini, tidak familiar.

Aku sudah berdiri di sini selama satu jam, di depan sebuah toko sepatu yang masih tutup—di seberang klub. Rokok kelima yang kumiliki nyaris habis, aku mengisapnya sambil memikirkan cara menebus kesalahanku pada Jennie—karena dia tidak mau berbicara denganku sejak kemarin, meskipun kami masih tidur bersama.

Mataku mengawasi sekitar, tetapi tidak ada yang muncul. Orang bodoh juga tahu bahwa klub akan selalu buka di malam hari, aku juga mengerti itu, tapi kurasa jika pria itu bekerja di sini setidaknya dia pasti akan keluar masuk untuk melakukan sesuatu. Namun sepertinya tebakanku salah, tidak ada seorang pun di sini. Lingkungan ini sangat sepi, seperti sebuah kota mati, toko-toko tutup, bahkan toserba, tidak ada kendaraan yang lalu lalang, satu-satunya yang kulihat hanyalah satu atau dua orang yang lewat setiap tiga puluh menit.

"Sialan. Betapa bodohnya kau, Lisa." Ucapku pada diriku sendiri. Jika tidak ada orang lain yang memberi tahuku, maka aku akan secara sukarela melakukannya sendiri karena aku terkadang perlu diperingatkan tentang betapa bodohnya diriku.

Apa yang kupikirkan dengan datang ke sini tanpa persiapan? Tanpa melakukan beberapa pemeriksaan lebih dulu seperti yang Jisoo lakukan? Seharusnya aku memahami bagaimana tempat ini bekerja sebelum muncul dan berdiri di sini seperti sampah. Dasar tidak berguna.

Aku mengeluarkan ponsel dari kantong celanaku untuk melihat kembali foto yang kukirim dari Jisoo kemarin. Aku bersumpah, wajah laki-laki ini tampak akrab bagiku. Frustrasi terus menyerang karena aku tidak bisa mengingat di mana aku bertemu dengan mereka, atau setidaknya salah satu dari orang-orang ini.

"Kau tampak asing."

Kepalaku menoleh begitu sebuah suara tiba-tiba mengejutkanku. Aku tidak tahu kapan atau bagaimana dia muncul, tapi sekarang aku saling menatap dengan seorang remaja laki-laki berseragam sekolah, rambut pirang berantakan.

Aku mencoba menelaah lelaki ini dari atas ke bawah, seragamnya juga acak-acakan—kemeja bagian dalamnya setengah tertarik, wajahnya penuh oleh luka-luka yang sudah mengering, sementara tangannya memegang sebuah tas compang-camping. Dari penampilannya, dia tampak seperti salah satu dari sekian banyak anak nakal saat ini.

Should I Stay? (JENLISA)Where stories live. Discover now