14

3.2K 452 15
                                    

Kebohongan, hal yang tak seharusnya ia lakukan. Namun hal itu telah menjadi bagian dalam hidupnya selama bertahun-tahun, jadi ia berpikir bahwa satu kebohongan lain kepada satu orang lagi tidak ada salahnya. Yang Lisa tidak tahu, meskipun ia menyimpan dan menutup rapat-rapat rangkaian cerita yang sebenarnya, hal itu perlahan akan terlihat dan terkuak.

Mungkin tak akan terjadi seandainya Lisa tetap hidup sebagaimana yang ia jalani selama ini, —menutup dirinya dari dunia, tak terlihat, tak terlibat dalam segala sesuatu yang akan mengungkap sisi yang ia sembunyikan. Namun, kehadiran Jennie membuat semuanya berbeda, membuat Lisa melupakan bahwa dirinya sedang bersembunyi, membuatnya lalai akan tindakan dan melupakan sekitarnya.

Jadi, tanpa memikirkannya lebih dahulu, satu kebohongan bodoh lolos begitu saja dari mulutnya. Ia bisa bernafas lega karena Jennie tak bertanya lebih banyak soal luka-luka itu, namun yang Lisa tidak ketahui adalah bahwa tanpa berusah menunjukkannya, Jennie rupanya tak mempercayainya begitu saja, namun untuk saat ini tidak membahasnya mungkin lebih baik.

"Kau benar-benar tak apa, Jennie?" Lisa bertanya dengan khawatir.

Isak tangis Jennie masih belum reda sejak sekitar lima belas menit yang lalu, ia bahkan menangis dengan begitu menyedihkan tepat sesaat setelah film yang mereka tonton bersama selesai. Melihat bagaimana dia menangis, Lisa bisa tahu bahwa Jennie merupakan wanita yang memiliki perasaan rapuh seperti kaca. Dia bisa bahagia karena hal-hal kecil, namun bisa pula hancur hanya karena sebuah film berjudul "Me before you" yang Lisa sarankan.

"Aku tidak tahu ada film yang sangat bagus dan sedih seperti ini, kemana saja aku?" Ucap Jennie, menyeka matanya dengan tisu.

Lisa terkekeh, "Sudah kubilang, kau tak akan menyesalinya."

Melihat seringai di wajah Lisa, membuat Jennie tak tahan untuk tidak memukul pundak gadis jangkung itu. Ia merasa kesal, menyalahkan Lisa karena membuatnya menangis oleh film yang tadinya ia kira akan membuatnya merasa mual.

"Tapi sungguh, Lisa. Aku tak mengerti, bukankah seharusnya film dengan tema cinta harusnya berakhir bahagia?" Protes Jennie sembari memungut lembaran tisu yang berserakan di atas kasur.

"Mereka berakhir bahagia."

Jennie mengerutkan alisnya dan tertawa hambar, "Bahagia? Saat salah satu memilih untuk bunuh diri? Bagaimana bisa itu disebut bahagia."

Lisa tertawa, "Itu bukan bunuh diri, melainkan pilihan untuk mengakhiri hidup secara khusus dan di bantu oleh tenaga profesional." Jelasnya, "Dan tentu saja mereka bahagia, dengan cara mereka sendiri. Kau tahu, akhir yang bahagia tidak melulu tentang dua orang yang harus bersatu karena saling mencintai. Lihat? sang pria bahagia karena menjalankan keputusannya, dan sang wanita juga baik-baik saja setelahnya."

"Well, kita tak harus berpendapat sama untuk saling mengenal, kan? Jadi untuk yang satu ini, aku tidak setuju denganmu." Ucap Jennie, kemudian menjulurkan lidahnya untuk mengejek Lisa.

Menghela nafas pasrah, Lisa lalu meraih laptopnya dan beranjak dari kasur, menuju meja kecil di dekat pintu untuk meminum segelas air kemudian merebahkan tubuhnya di atas sofa panjang.

"Lantas, akhir bahagia seperti apa yang akan membuatmu setuju, Jennie?" Tanyanya.

"Bagiku, bahagia adalah saat dua orang yang saling mencintai menjalani hidup bersama dengan segala permasalahan dan kekurangan, tanpa perlu takut membuat salah satu dari mereka kehilangan, atau merasa takut akan saling kehilangan." Jawab Jennie.

Lisa terkekeh, "Jika begitu, tak ada yang bisa bahagia di dunia ini. Setiap kisah, atau kehidupan pasti ada kehilangan bukan?"

Mengangguk, Jennie bangkit dari kasur untuk duduk disamping Lisa. Ia menatap Lisa dan tersenyum, "Aku setuju. Tapi jika kita membicarakan tentang film yang baru saja membuatku menangis, aku hanya merasa bahwa itu adalah kehilangan yang tak adil bagi gadis itu."

Should I Stay? (JENLISA)Where stories live. Discover now