29. Deep Talk

5.8K 593 27
                                    

Akhir-akhir ini jadi rajin banget nulis sama update sumpah, ikut bangga wkwk.

Tapi masa vote-nya turun si? Komen juga jangan pelit-pelit dong tolong banget ini mah.

Anyway, this chapter gonna hits different jadi kalo bisa bacanya sambil dengerin mulmed di atas ya?

Selamat membaca, bunda.

*****

"Ih, Enooo! Ini salah, arah rumah aku belok kiri bukan lurus. Amnesia tiba-tiba, ya, kamu?" terka Ghea menepuk-nepuk pundak Aeno niat memberi tahu. Sedangkan, lelaki itu? Dia masih tetap fokus berkendara dan memilih untuk tak menghiraukan perkataan Ghea. "Atau jangan-jangan kamu mau bawa aku ke suatu tempat? Jangan dulu deh, baju aku masih basah! Nanti kalo diliatin orang gimana?"

"Udah, diem aja napa, Ghe? Baju lo basah bukan berarti masih nerawang. Ikut aja, ya? Sekali ini doang, janji!" pinta Aeno kepada gadis itu kelewat lembut. Ghea yang merasa tak tega pun hanya bisa memasrahkan diri. "Jangan lama-lama ah, lagian dadakan banget, sih! Mau ngapain coba?"

"Ohh!! Ini yang kamu bilang mau ngajakin aku keluar selain anter jemput ke sekolah, ya?" lanjut Ghea dengan nada suara yang mulai meninggi. Mendengar itu, sebuah senyuman kecil seketika terukir di balik helm Aeno. Ternyata, gadis itu tidak melupakan kesepakatan antara keduanya. "Kalo emang iya, kenapa?"

Sebentar, sepertinya ada sesuatu yang janggal. Ghea ingat dari perbincangan dirinya kemarin dengan Tessa jika di final balap motor bulan ini, Aeno hanya berhasil menyabet juara dua sebagai runner up dan Logan ditetapkan sebagai juaranya. Berarti, secara otomatis kesepakatan antara kedua belah pihak itu gagal, dong? Benar begitu, bukan?

"Apaan, sih! Gak lucu tau nggak, Eno? Bukannya kamu kalah sama Logan? Jadi cowok kok maksa cewek seenaknya aja! Usaha!" gerutu Ghea sebab perlakuan Aeno terhadap dirinya berbanding terbalik dengan kesepakatan yang sudah dibuat.

"Banyak bacot banget lo, Ghe. Sampe gak sadar kalo udah nyampe." Lagi-lagi tak mengindahkan ucapan Ghea, tanpa pikir panjang Aeno segera memakirkan motor merah kesayangannya pada salah satu sudut tempat yang didatangi oleh kedua insan tersebut.

Sengaja Aeno bawa gadis itu ke taman yang berada di tengah-tengah sudut kota, menikmati waktu sore bersamanya sambil berbincang-bincang hangat, tidak lupa untuk memakan es krim sesuai batas kesepakatan yang dicetuskan oleh Ghea. Cukup itu, tidak lebih dari yang Aeno inginkan. Mungkin, ini pertama kalinya untuk mereka memiliki waktu berdua selain berboncengan di atas motor juga.

"Gak mau turun?" tanya Aeno mengangkat sebelah alisnya ketika melihat Ghea yang tak kunjung turun dari sana. Jangankan turun, gadis itu saja enggan untuk membuka helm sekalipun. "Oke, gak ada jawaban. Berarti, gue gendong, ya?"

"Aeno curang!" sela Ghea untuk sekian kalinya menginterupsi gerakan Aeno. "Kamu kan kalah, ngapain bawa aku ke sini? Malesin banget!"

"Gue kalah juga karena mereka yang curang, Ghe. Ini juga udah juara dua, loh. At least, gue udah berhasil dapetin posisi runner up buat putaran bulan ini. Kalo lo mikir, penuh perjuangan banget buat dapetinnya. Apa masih kurang bu—"

"Eno, semesta hanya akan mengingat pemenangnya. Bukan runner up, bukan juga second runner up."

"Kayaknya bakal beda cerita, ya, Ghe, kalo Azel yang ngajakin lo ke sini. Pasti suara lo aman gak bakal abis cuma buat ngomel-ngomelin gue yang selalu minta waktu berdua. Pasti juga suara lo bakal aman karena gak perlu repot-repot nolak ajakan dari Azel buat berduaan ke taman. Beda sama gue, ya, Ghe?"

Dengan keadaan hati yang membuncah, Aeno mulai melangkah kaki berjalan ke arah kursi yang berada di pinggir taman. Tak peduli jika nyatanya Ghea tidak mengekorinya dari belakang dan memilih untuk pulang sendirian. Aeno hanya butuh waktu untuk healing time, berdamai dengan keadaan hatinya yang sedang tidak baik-baik saja.

Namun, rasanya hati ini terasa mencelos mendengar penuturan Aeno barusan tadi. Apa kelakuannya selama ini terhadap lelaki itu sudah keterlaluan melampaui batas? Demi mengurangi rasa bersalah yang berlebihan, untuk kali ini Ghea berusaha mencoba menurutinya. Cukup sekali ini saja.

Hening beberapa saat hingga Aeno membuka suara untuk memulai percakapan kembali. "Cakep, ya, pelanginya? Mau foto?" tawarnya yang mendapat gelengan singkat dari gadis yang tengah duduk di sebelahnya dengan kondisi wajah yang menunduk. Saat ini, langit yang tadinya mendung kegelapan itu sudah kembali cerah hingga menampakkan lengkungan spektrum warna di atas sana.

"Ada orang yang bilang begini, 'Jangan pernah jadi pelangi untuk orang yang buta warna.' Jadi, mulai sekarang orang itu harus jadi apa?" tanya Aeno tiba-tiba membuat Ghea menengadahkan kepalanya kembali menatap kedua manik mata tersebut.

"Sebenernya, dia bukan buta warna, tapi emang bukan warna tersebut yang dia mau," jawab Ghea mulai memahami arah pembicaraan Aeno kali ini. "Dan subjek 'dia' yang dimaksud itu aku, kan?"

"Oke, singkatnya begini kalau subjeknya kita ganti. Aku bukan buta warna, tapi emang bukan kamu warna yang aku mau," lanjutnya menusuk. "Jadi, sekarang udah ngerti harus apa?"

"Satu lagi, Eno. Jangan jadi payung juga untuk orang yang nggak takut hujan." Untuk kali ini, haruskah ia mundur? Dan perlahan mencoba menerima kenyataan bahwa memang bukan dirinyalah yang gadis itu ingin dan butuhkan. Entahlah, seketika mulutnya ini terasa begitu kelu untuk sekadar membalas perkataan Ghea.

"Kalo kamu sadar, kita berdua ini sama-sama ada di posisi yang sama, Eno." Tidak diberi kesempatan mengambil napas terlebih dahulu sesaat, Ghea terus mencecarnya bertubi-tubi. "Sama-sama berasa nggak dianggap, begitu juga dengan perasaan kita."

Aeno merubah posisi duduknya menghadap ke arah Ghea, keduanya sama-sama menatap kedua manik mata indah masing-masing insan tersebut. "Ya, kalo gitu kenapa kita yang sama-sama berada di posisi yang sama nggak memilih buat bersatu aja?"

"Gak semudah itu dan gak gitu caranya. Perasaan itu nggak bisa diatur seenaknya aja. Aku sukanya sama Azel, kamu sukanya sama aku. Jalan kita aja udah nggak searah, Eno. Gimana mau bersatu?"

Semakin mengulik lebih dalam, Aeno semakin dibuat linglung sekaligus gelisah dalam satu waktu oleh pembicaraan ini. "Gue juga nggak bisa ngatur perasaan gue sendiri dong kalo nyatanya gue suka sama lo? Begitupun dengan perasaan lo ke Azel. Jadi, kita harus apa kalo udah kayak gini, Ghe?"

"Gak ngapain-ngapain, berusaha untuk melupakan dan nggak menganggap keadaan masing-masing aja udah lebih dari sekadar kata cukup. Aku juga nggak pernah larang tentang perasaan kamu ke aku, kok. Tapi jangan terlalu banyak berharap aja, itu yang aku minta." Lantas setelah mengatakan itu, alisnya mengernyit ketika pandangannya mendapati sesuatu yang menjanggal di salah satu sudut wajah Aeno.

"Eh, pipi kamu lebam, ya?" terka Ghea panik refleks menangkup wajah Aeno cemas. Tak sadar, kedua sudut bibir lelaki itu terangkat dengan sendirinya. Satu hal lagi yang Aeno baru ketahui, bahwa gadis itu ternyata masih memperhatikan dirinya. "Biasa, emang gue aja yang suka cari masalah duluan."

"Nanti mampir ke rumah aku dulu. Biar diobatin—" Selain kedua sudut bibir Aeno yang kini terangkat sempurna membentuk lengkungan indah, matanya pun ikut menyipit bagaikan bulan sabit, tak sabar mendengar kelanjutannya. "Sama Bi Wati."

*****

22 juli 2021.

One of my favorite chapter, periodt!

Gua ketagihan banget nulis second lead couple-nya masaaa wkwk?

Follow ig :
@nugraharzqy
@gradivosteam
@berkibah.ofc
@gazevallo
@nathxliez
@gheasega

Diketik 1143 kata.

GAZELLE [END]Where stories live. Discover now