46. Berakhir

5.9K 585 77
                                    

Siapkan hati sebelum membaca chapter kali ini, siapkan raga untuk mendalaminya, juga siapkan earphone untuk mendengarkan mulmed yang terdapat di atas, oke?

Semoga seluruh rasa yang gua sampaikan di chapter ini dapat tersampaikan dengan baik ke kalian semua. Semoga.

Vote, komen, and happy reading, bunda.

*****

Nathalie memilih untuk meninggalkan beberapa jam mata pelajaran kelas terakhir untuk hari ini, begitu pula dengan Azel yang ingin cepat-cepat mengakhiri hari yang sangat berat di hidupnya ini. Kedua insan itu seakan meminta waktu lebih kepada yang maha kuasa untuk mengakhiri semuanya dengan pilihan masing-masing, meski antara keduanya berbeda.

Setelah bel pulang berbunyi, dengan langkah lunglai dan perasaan yang kacau, Azel berjalan keluar kelas melewati koridor sekolah yang sudah nampak sepi, namun kali ini lelaki itu sendirian tanpa didampingi oleh para anggota di sisinya. Mereka paham, sangat paham jika kondisi ketuanya saat ini jauh dari kata baik-baik saja dan perlu waktu untuk menyendiri.

Pada awalnya, tujuan Azel hanya ingin cepat keluar dari betapa beratnya rangkaian hari-hari yang dia lewati bersama Nathalie beberapa jangka waktu ke belakangan ini, dan memulainya dengan hari-hari baru yang akan sama-sama mereka lewati sebagai sepasang kekasih penuh cinta, tanpa berpikir untuk menyerah apalagi menyelesaikannya. Namun, kini kebenaran tentang Nathalie yang masih sulit untuk Azel percayai telah terungkap. Pilihan opsi kedua, yaitu, 'tanpa berpikir untuk menyerah apalagi menyelesaikannya' tersebut kini harus menjadi sebuah keharusan yang layak untuk ia akhiri?

Entahlah, mengapa seakan-akan dunia memaksanya untuk memilih di antara kedua pilihan yang sangat berat bagi dirinya tersebut. Hingga seluruh fokusnya sedari tadi teralihkan memaksa untuk memikirkan itu. Di saat dirinya berjalan dengan pandangan mata yang kosong, indra pendengarannya menangkap sebuah suara tangisan terpendam dari arah dalam gudang kosong sekolah. "Nathalie?" gumamnya.

Azel kembali pada fokusnya, menghampiri sosok perempuan bertindik di balik tumpukan kursi-kursi rongsokan tak terpakai, dengan menaikkan kedua lutut sebagai wadah luruhnya seluruh air mata dan telapak tangan yang menutup mulut menciptakan suara isakan tangis yang tertahan. Keadaan kedua insan tersebut sama-sama sedang tidak baik-baik saja. Seluruh masalah bertumpu pada mereka.

"Gak bisa, Nath. Nggak gini penyelesaiannya, bukan nangis. Dengan cara kayak gini, aku, kamu, dan kita nggak akan bisa keluar dari masalah," jelas Azel berusaha melepaskan tangan yang terkait pada mulut itu. "Tolong, jangan nyakitin diri sendiri."

Nathalie mendongakkan wajahnya, melawan rasa takutnya menatap manik mata hitam legam milik lelaki di hadapannya tersebut. "Zel, tolong jangan samain hidup aku sama kamu, aku ini beda! Aku juga nggak pernah milih hidup kayak gini, Zel!" balas Nathalie meluapkan segalanya. "Kalo bukan nangis, apalagi caranya? Kasih tau ke aku, Zel!"

Lelaki jangkung itu terdiam di tempatnya, menatap ke arah Nathalie yang perlahan bangkit dengan mata yang memerah menghadapnya. "Wajar nggak, Zel, kalo capek? Wajar nggak kalo aku milih menyerah? Wajar nggak, Zel?" tanyanya menahan isak tangis. "Capek, Zel! Aku capek! Kali ini, boleh aku nyerah?"

"Dipaksa dewasa oleh keadaan itu nggak mudah, Zel! Ini semua sama sekali nggak mudah buat aku. Dan, di sini tugas kamu cuman harus bisa ngertiin kondisi aku, Zel! Itu aja!" keluh Nathalie beruntun.

GAZELLE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang