17 - Mengkhawatirkanmu

87 33 20
                                    

Daffin menawarkan diri untuk mengantarkan Keira pulang.

"Ah Daffin lepaskan aku, aku bisa berjalan sendiri." Keira malu ditatap murid lain yang tidak jauh darinya. Daffin akhirnya melepaskan tangannya dari lengan Keira, sebenarnya Daffin khawatir jika sewaktu-waktu Keira akan pingsan lagi apabila ia tidak memeganginya. Namun Daffin menuruti kemauan Keira.

Daffin mencari-cari kunci mobilnya. Ia merogoh saku celananya, tetapi ia tidak menemukan kunci mobilnya. Daffin mencari-cari di dalam tasnya.

"Aduh dimana ya." Daffin kembali merogoh di dalam tasnya, akhirnya Daffin menemukan kunci mobilnya.
Kemudian Daffin membukakan pintu untuk Keira. Ini pertama kalinya, Daffin membukakan pintu untukku. Keira tidak bisa menahan senyumannya.

Daffin sekali lagi menanyakan keadaan Keira.
"Apa kau sudah baikan?" Keira langsung menoleh ke arah Daffin.

"Iya." Keira menganggukkan kepalanya.

"Benarkah? Besok hari perlombaannya. Kau harus banyak istirahat hari ini. Jangan sampai sakit." Keira menatap Daffin cukup lekat. Apakah dia sedang mengkhawatirkanku? Atau hanya ingin aku jangan sampai tidak menghadiri perlombaan.

Daffin menatap kembali ke depan, fokus menyetir mobilnya. Keira masih diam di tempatnya. Pikirannya berkecamuk tentang Daffin yang memang khawatir dengannya atau tidak. Tapi tadi pagi kenapa Daffin menghindariku ya? Apa yang salah denganku, tidak seperti biasanya walaupun kadang tidak peduli dan tidak berperasaan.

Keira masih memikirkan hal itu sampai-sampai ia tidak menyadari sudah berada di depan rumah.
"Keira sudah sampai." Daffin menyadarkan lamunan Keira.

"Oh, kalu begitu aku akan turun. Apa kau mau masuk dulu?"

"Tidak usah. Aku pulang dulu ya. Kau istirahatlah." Daffin tersenyum ke arah Keira membuat hati Keira berbunga-bunga.

Daffin sudah menghilang dari pandangan Keira, namun Keira masih berdiri di tempatnya. Terpana dengan ketampanan Daffin saat tersenyum seperti tadi. Aku berharap Daffin selalu tersenyum seperti itu.

📕📗📘

Daffin memakirkan mobilnya di depan rumah yang luas itu. Daffin masuk ke rumahnya, ia hanya disambut oleh bibi yang bekerja di rumah itu. Rumah seluas itu hanya ada bibi, dirinya, dan pembantu rumah saja.

"Apa ayah belum pulang?" tanya Daffin sekadar untuk basa-basi.

"Belum. Apa tuan muda Daffin mau bibi buatkan makanan?" tanya bibi itu ramah.

"Bibi, kenapa memanggilku seperti itu lagi? Sudah kubilang panggil aku dengan nama Daffin saja. Aku merasa tidak nyaman."

"Baiklah. Kalau begitu bibi akan membuatkan makanan."

Daffin menuju kamarnya, ia meletakkan tasnya dan mengganti seragamnya dengan kaos dan celana jeans. Daffin terlihat segar setelah mandi. Daffin duduk di depan meja belajarnya. Ia mengamati sebuah bingkai foto seorang gadis bersama dengan dirinya saat masih kecil. Ia menatap foto itu dengan sendu.

"Kenapa kau pergi meninggalkanku? Aku merasa sendirian di sini." Daffin menghela nafas berat.

Tak lama kemudian, bibi itu memanggil Daffin untuk segera makan malam. Daffin turun ke bawah, namun ia melihat ayahnya yang sudah duduk di kursi meja makan ia menghentikan langkahnya di tengah tangga. Daffin menjadi tidak berniat untuk makan malam. Bibi itu meminta Daffin agar Daffin makan malam bersama ayahnya, Daffin akhirnya terpaksa makan malam bersama ayahnya walau dalam hatinya ia sangat ingin pergi. Daffin duduk di kursinya. Tidak ada pembicaraan diantara mereka. Hanya saling menatap tajam tanpa bicara satu kata pun. Daffin langsung pergi begitu saja saat makan malam, ia tidak menghabiskan makanannya hal itu membuat ayah Daffin marah. Makan malam dengan ayahnya hanya membuat Daffin tidak nafsu makan.

Started in the Library [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora