55 - Penyesalan Yang Tak Berujung

26 5 12
                                    

"Keira apa yang kau lakukan di sini?" Keira hanya terdiam. Ia kembali menundukkan kepalanya.

Laki-laki itu yaitu Vian, cowok yang sangat ingin ia hindari sekarang berada di depannya. Vian melepas jaketnya dan menyampirkannya di tubuh Keira. Keira masih saja terdiam, merasa muak dengan wajah Vian.

"Kau basah, aku akan mengantarmu pulang." Vian menarik lengan Keira untuk berdiri, namun Keira melepaskan cekalan tangannya dan enggan untuk berdiri. Ia tetap bersikukuh tidak beranjak dari tempatnya, ia masih menunggu bila saja Daffin akan kembali.

"Keira sebenarnya apa yang membuatmu begitu membenciku?" tanya Vian pada akhirnya, pertanyaan yang sudah ditahan sejak lama akhirnya ditanyakan juga.

Keira akhirnya mendongakkan kepalanya menatap Vian tanpa berekspresi.

"Karena kau yang sudah membuat persahabatan kita bertiga hancur," kata-kata itu diucapkannya dengan penuh penekanan, seolah semua yang membuat persahabatan mereka bertiga hancur itu karena Vian. Vian yang sudah menghancurkannya sudah tidak dapat memperbaikinya lagi atau lebih tepatnya tidak ada kesempatan untuk memperbaikinya lagi.

Keira berdiri dari tempatnya, menatap Vian dengan tatapan dingin. Seolah hawa dingin langsung bermunculan di sekitarnya begitu Keira menatapnya dengan tatapan seperti itu. Ia melepaskan jaket Vian yang tersampir di tubuhnya.

"Nih jaketmu aku kembaliin. Aku tidak butuh bantuanmu." Keira berlari menerobos hujan begitu saja tanpa memedulikan kalau besok ia bisa sakit atau demam, saat ini yang lebih baik ia ingin menghindari Vian. Vian berlari mengejar Keira. Ia mencekal lengan Keira agar menghentikan langkahnya. Keira meronta-ronta agar Vian melepaskan cekalannya yang sangat erat. Namun ia tidak melonggarkan cekalannya sedikit pun membuat Keira semakin kesal. Vian memberikan payung yang digenggamnya pada Keira.

"Setidaknya jangan hujan-hujanan nanti kau bisa sakit." Setelah mengatakan kalimat itu Vian langsung berlari meninggalkan Keira begitu saja sendirian di tengah taman.

Keira masih terdiam di tempatnya. Ia menatap Vian yang berlari menjauh dengan perasaan sedikit menyesal. Namun alangkah baiknya jika mereka berdua saling menjauh seperti ini.

"Jika saja kau tidak menyukaiku mungkin kita masih bisa bersahabat seperti dulu." Setelah itu Keira memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat itu, karena Daffin yang ditunggu-tunggunya tidak kunjung datang. Akhirnya Keira menyerah untuk menunggu Daffin seorang diri di taman. Ditambah lagi tubuhnya sudah sedingin es.

Setelah memarkirkan mobilnya di depan rumah. Hujan yang turun begitu deras sudah reda begitu Keira sampai di depan rumahnya. Langit yang semula gelap langsung berganti menjadi cerah, seolah hujan itu khusus untuk mengguyur Keira sampai basah kuyup. Keira masuk ke rumahnya sambil menggigil. Air yang basah mengenai tubuhnya perlahan menetes dan mulai menggenang di lantai rumahnya. Regan tidak menyadari Keira yang berjalan melewatinya begitu saja dalam keadaan basah kuyup. Mama Keira melihat Keira yang basah kuyup langsung menghampirinya.

"Keira kenapa kau bisa basah kuyup begini?! Apa kau tadi hujan-hujanan?!" tanya Mama Keira yang sedikit marah juga sedikit khawatir.

Keira menundukkan kepalanya, ia mencengkeram erat bagian bawah bajunya dan tangannya mulai gemetaran. Sekarang suasana hatinya sedang tidak baik untuk menanggapi omelan mamanya. Ia sedang kacau dan ingin segera pergi ke kamarnya. Mama Keira menyadari sikap Keira yang terlihat ketakutan. Ia urungkan niatnya untuk memarahi Keira karena sekarang yang menurutnya lebih penting yaitu Keira baik-baik saja. Mama Keira tersenyum dan mengelus puncak kepala Keira.

"Sekarang kamu cepatlah ganti bajumu, nanti masuk angin." Suara mama Keira langsung berubah menjadi lembut. Keira mengangkat kepalanya, ternyata mamanya tidak jadi memarahinya. Keira tersenyum senang kemudian ia pergi ke kamarnya. Ternyata mamanya tidak semengerikan yang ia bayangkan, ia bisa memiliki sisi lembut yang membuat Keira merasakan kehangatan. Biasanya jika Keira melakukan kesalahan ia akan dimarahi habis-habisan sampai ia tidak boleh menyela perkataannya. Keira terharu mendengar mamanya yang mengkhawatirkannya.

📕📗📘

Daffin sampai di rumahnya dengan sedikit emosi. Ia membuka pintu rumahnya dengan kasar. Ia berjalan ke ruangan ayahnya dengan langkah lebar. Ia melihat ayahnya yang sedang duduk bersandar di kursi.

"Apa hal penting yang harus kau bicarakan?!" tanya Daffin dengan nada yang tidak bisa diajak bicara.

"Apa ini caramu berbicara pada ayahmu?!" David menggebrak meja dan berdiri dari tempat duduknya masih dengan tersulut emosi. Baru datang Daffin sudah membuatnya darah tinggi.

Daffin hanya diam sambil menatap ayahnya dengan tatapan tajam. "Beraninya kau menatapku seperti itu!!" David kembali duduk di kursinya dan mengatur kembali napasnya sambil tidak terpancing emosi. "Berhenti berdebat dengan ayahmu, Daffin!!"

"Jadi apa yang harus dibicarakan?" Suara Daffin melunak, ia juga lelah selalu berdebat dengan ayahnya.

"Keluarga pendiri SC Group mengundang kita untuk makan bersama dan sekalian menandatangani perjanjian kerja sama antara dua perusahaan." David menjelaskan sesuatu yang katanya penting itu. Daffin tersenyum kecut. Ia menolak untuk pergi ke acara itu, menurutnya itu hanya akan membuang waktunya saja yang berharga.

"Kenapa sama aku segala? Kenapa nggak ayah saja yang pergi." Ayahnya kembali tersulut emosi karena perkataan Daffin.

"DAFFIN!!" Daffin tidak tertarik dengan sesuatu yang dibicarakan ayahnya. Jika sesuatu yang berhubungan dengan perusahaan ia malas mengurusinya. Apalagi mengikuti acara perjamuan makan dari teman ayahnya, ia sangat tidak menyukai acara seperti itu. Kecuali jika ada Keira seperti waktu itu, ia bisa datang kapan saja. Daffin melenggang pergi begitu saja dari ruangan ayahnya dan membanting pintu itu dengan cukup keras.

Daffin mengecek ponselnya, ia tidak menyadari ternyata pesan yang ditulisnya tidak terkirim. Ia buru-buru kembali mengambil kunci mobil dan kembali ke tempat itu. Ia mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Ia tidak sempat menelepon Keira, ia sangat khawatir jika Keira masih menunggunya di sana. Apalagi tadi hujan turun begitu deras. Sesampainya di sana ia tidak melihat keberadaan Keira di mana pun. Daffin sedikit lega karena Keira tidak menunggunya di tempat ini sendirian saat hujan sedang membasahi kota, tetapi ia juga sedikit kecewa karena ia tidak memberitahu Keira kalau tiba-tiba ada urusan, ia menyesal karena tadi pergi meninggalkan Keira begitu saja, seharusnya ia mengecek ponselnya terlebih dahulu.

Daffin akhirnya memutuskan untuk menelepon Keira.

"Halo Keira? Apa kamu sudah pulang? Maaf tadi aku ada urusan mendadak." tanya Daffin dengan sedikit khawatir.

"Hmm, aku sudah di rumah. Kamu tidak perlu mencemaskanku," kata Keira tanpa semangat. Setelah itu Keira memutuskan sambungannya secara sepihak.

Daffin akhirnya pergi meninggalkan tempat itu dengan lunglai. Ia kesal dengan dirinya sendiri. Ia kesal juga dengan ayahnya yang selalu menyuruhnya melakukan yang dimintanya. Ayahnya bahkan tidak pernah memberikan kebebasan untuknya, padahal ia sangat senang bisa jalan-jalan dengan Keira, merasakan sejuknya angin, membuat Keira kesal namun setelah itu senyum-senyum sendiri. Pada saat ia melakukan hal-hal yang membuatnya bahagia, membuatnya bisa tersenyum, ayahnya selalu saja menghancurkan kebahagiaan itu.

Aku sudah muak. Ayah yang sudah membuatku kehilangan kakak dan ibu. Sekarang mereka pergi meninggalkanku, bahkan ibu juga tidak akan kembali ke sini. Begitu, kalimat yang ada di dalam hati Daffin dengan semua yang dilakukan ayahnya terhadapnya. Ia menumpahkan semua kesalahan itu dengan ayahnya yang menjadi penyebab utamanya.

Haii!! Jangan lupa untuk vote dan comment ya^^

See you~

Started in the Library [END]Where stories live. Discover now