59 - Hari Yang Melelahkan

31 4 23
                                    

Keira tersentak dengan kedatangan Daffin yang tiba-tiba. Keira hanya terdiam. Keira pelan-pelan melangkah mundur lalu ia berlari dari hadapan Daffin.

"KEIRA!!" Keira masih saja berlari tidak mendengarkan teriakan Daffin. Perlahan ia mulai meneteskan air matanya.

Daffin hendak mengejar Keira namun ia sedikit merasa pusing. Daffin berjalan tertatih-tatih menyusuri tembok.

Keira menghentikan langkahnya, ia sampai di sebuah taman yang ada di rumah sakit, Keira duduk di salah satu kursi. Ia mengatur kembali napasnya. Kenapa aku lari? Tapi aku tidak bisa menemui Daffin begitu saja. Aku sudah memutuskan untuk menjauh darinya. Tetapi kenapa rasanya sakit sekali.

Keira menundukkan kepalanya. Ia lagi-lagi tidak bisa menahan air matanya yang mengalir deras. Tak lama kemudian Keira menyadari ada seseorang yang menghampirinya, Keira perlahan mendongakkan kepalanya, ia melihat Daffin yang sudah berada di depannya dengan napas yang terengah-engah. Daffin berjongkok di depan Keira, ia memegang pipi Keira dan mulai mengusap air mata yang menetes di pipinya. Keira hanya bisa terdiam, sementara jantungnya sudah berdetak tidak karuan.

"Kenapa kau lari dariku?" tanya Daffin dengan pelan. Keira bingung harus menjawab bagaimana.

Tiba-tiba saja Keira bangkit dari kursinya. "Karena aku–" Suara Keira tercekat, ia tidak bisa mengatakannya.

Daffin ikut berdiri, ia langsung memeluk Keira. Keira menghentikan kata-katanya, ia bingung dengan perlakuan Daffin yang tiba-tiba. Keira hendak melepaskan pelukan Daffin, namun Daffin semakin mempererat pelukannya dan seperti tidak ingin Keira pergi begitu saja.

"Jangan pergi, kumohon. Jangan menjauh dariku Keira." Keira tersentak dengan perkataan Daffin, ia tidak tahu harus berkata apa.

"A-aku..."

"Aku tidak ingin kehilangan seseorang lagi." Keira terdiam, hatinya langsung menciut mendengar perkataan dari Daffin yang sangat menyentuh hatinya. Ia balas memeluk Daffin. Keira menyadari Daffin yang sangat kesepian dan tidak ada seseorang yang disisinya.

"Aku hanya takut." Akhirnya Keira membuka suara juga.

"Apa yang membuatmu takut? Apa aku menakutkan?" Keira menggelengkan kepalanya.

Setelah itu, Keira langsung melepaskan pelukan dari Daffin begitu saja.

"Maaf, sekarang aku harus pergi." Setelah mengatakan itu, Keira pergi dari hadapan Daffin yang masih mematung di tempatnya. Seolah Keira menolak untuk berada di dekatnya dan malah memilih untuk menjauh darinya.

Daffin mengacak rambutnya dengan frustasi. "Kenapa malah jadi seperti ini?!"

Daffin kembali ke ruangannya dengan langkah lebar. Ia mencopot infus yang menempel di tangannya dengan kasar. Daffin memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Daffin keluar dari ruangannya begitu saja. Suster melihat Daffin yang akan pergi, namun ia segera mencegahnya.

"Kamu belum boleh pergi, kondisimu masih belum pulih sepenuhnya." Daffin melepaskan cekalan dari suster itu.

"Aku tidak peduli." Daffin berlari keluar dari rumah sakit.

"Taksi." Daffin menghentikan taksi lalu dengan cepat ia sudah pergi meninggalkan rumah sakit itu.

Sesampainya di rumahnya, Daffin langsung merebahkan dirinya di kasur. Hari ini rasanya menjadi hari yang berat baginya. Daffin teringat saat Keira menjauh darinya, hal itu membuatnya terus saja kepikiran.

BRAKK!!
Daffin tersentak dengan pintu kamarnya yang dibuka secara tiba-tiba. David muncul di depan pintu dengan raut wajah cemas.

"Kenapa kau pulang begitu saja?"

"Karena aku sudah sembuh," jawab Daffin mengarang, sebenarnya ia juga tidak mau berlama-lama di rumah sakit.

"Benarkah? Apa kau sudah benar-benar sembuh?" David memegang kening Daffin.

"Ah sudahlah aku benar-benar sudah sehat. Lagian aku bukan anak kecil lagi." Daffin menyingkirkan tangan David dari keningnya. "Sekarang aku mau tidur, ayah pergilah dari kamarku." Daffin kembali merebahkan dirinya di kasur dan berbaring membelakangi ayahnya. Ia pura-pura memejamkan matanya.

David pergi meninggalkan Daffin dan menutup pintu kamarnya dengan perlahan. Daffin kembali membuka matanya. "Hah? Ada apa dengannya. Kadang seperti ini, kadang seperti itu. Tidak jelas."

📕📗📘

Daffin sudah bersiap-siap untuk berangkat sekolah, ia tidak peduli walaupun keadannya belum pulih sepenuhnya, ia ingin pergi ke sekolah dan bertemu dengan Keira. Daffin melahap rotinya dengan cepat lalu ia bergegas pergi ke sekolah.

"Hei bro, kau sudah sembuh emangnya?" tanya Riko begitu Daffin sampai di depan kelas. "Lihat, kepalamu bahkan masih diperban." Daffin tidak menggubris perkataan Riko dan melewatinya begitu saja.

Setelah meletakkan tasnya di atas meja. Daffin bergegas pergi ke kelas sebelah. Ia menengok ke sana-ke mari mencari keberadaan seseorang. Della menyadari Daffin yang sepertinya sedang mencari Keira.

"Keira belum datang, sepertinya dia terlambat." Daffin menghela napas, ia mengira akan langsung bertemu dengan Keira begitu ia sampai di sekolah namun kenyataannya malah sebaliknya.

Setelah menunggu sampai bel masuk, Keira tetap tidak datang. Akhirnya Daffin pasrah menunggu di depan kelas Keira dan kembali ke kelasnya.

Pak guru datang ke kelas Daffin. Daffin gelisah karena sepertinya Keira menghindarinya.

"Oh Daffin, kau sudah masuk sekolah. Kau boleh istirahat saja karena sepertinya kau belum sembuh." Pak guru mempersilakan Daffin untuk tidak mengikuti pelajaran.

"Kalau begitu, apa saya boleh ke ruang kesehatan?" Pak guru menganggukkan kepalanya. Daffin langsung pergi keluar dari kelas.

Riko menatap Daffin dari kejauhan. "Irinya." Riko kemudian mengangkat tangannya. "Pak saya juga mau ke ruang kesehatan." Pak guru menoleh ke arah Riko.

"Oh Riko. Kau terlihat baik-baik saja. Kamu tetap di kelas saja dan memperhatikan pelajaran," kata guru itu dengan ketus berbeda saat ia berbicara dengan Daffin.

"Uuh, perutku sakit. Pak saya mau ruang kesehatan." Riko memegangi perutnya dan berakting dengan pura-pura sakit perut.

"Kamu alasan saja." Riko kesal karena pak guru ternyata tidak percaya dengan aktingnya. "Lagian, Daffin tidak mengikuti pelajaran saja dia pasti sudah peringkat satu. Riko kau harus lebih giat belajar lagi." Riko terdiam. Ia hanya bisa menghela napas karena tidak bisa dibandingkan dengan Daffin.

📕📗📘

Daffin mencari keberadaan Keira di mana-mana, namun ia tidak kunjung menemukan Keira. Akhirnya Daffin memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Daffin berjalan dengan perlahan.

"Akhirnya aku menemukanmu," kata Daffin dengan napas yang terengah-engah. Keira menghentikan kegiatannya saat menyadari Daffin sudah berada di sebelahnya.

"Oh, apa yang kau lakukan di sini?"

"Hah, hah." Daffin mengatur kembali napasnya yang tidak beraturan. "Keira kenapa kau menjauh dariku lagi?" tanya Daffin masih dengan pertanyaan yang sama seperti yang waktu itu. Karena ia masih memerlukan jawaban yang jelas keluar dari mulut Keira.

"Karena aku yang telah membuatmu terluka." Daffin terdiam, ternyata Keira merasa bersalah atas kejadian itu. "Jika aku menghindar mungkin kau tidak mungkin terluka." Daffin akhirnya tersenyum.

"Tapi hal itu sudah terjadi. Kau tidak perlu merasa bersalah atas kejadian itu. Buktinya aku sekarang tidak mati kan?" Daffin mencoba bercanda, namun Keira masih menatapnya dengan tatapan serius. Daffin kembali melanjutkan kata-katanya.

"Aku tidak berhasil menyelamatkan kak Mandy dan Calista. Tetapi setidaknya aku berhasil menyelamatkanmu. Aku tidak ingin melihatmu terluka seperti yang pernah mereka alami." Hati Keira berdesir mendengar perkataan Daffin ditambah ia tersenyum sangat tulus dihadapan Keira. Tembok yang telah dibangun untuk menjaga jarak dengan Daffin akhirnya runtuh saat itu juga.

Haii!! Jangan lupa untuk vote dan comment ya^^

See you~

Started in the Library [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang