#3 Nasi Kepal

906 160 20
                                    

Jungkook terus melirik jam tangannya sembari memperhatikan ucapan sang klien. Ia ingin mengirim pesan pada sang asisten untuk menjemput triplets. Namun, rasanya tak sopan jika ia tiba-tiba memainkan ponsel.

Ia tak menduga jika sang klien datang terlambat. Jika tidak ia pasti bisa menjemput triplets karena pehitungan waktunya benar-benar tepat. Namun, keterlambatan sang klien tak masuk dalam perhitungannya.

Bagaimana ini? batin Jungkook. Ia bisa bayangkan sebingung apa mereka saat tak mendapatinya berdiri di depan kelompok bermain seperti biasa. Ia harap mereka tak menangis karena ia akan cukup terlambat menjemput.

Bukan tak punya orang lain untuk diandalkan. Jungkook punya. Namun, semenjak ia keras kepala untuk menikah muda, orang tuanya memutus hubungan apa pun dengannya. Bahkan, untuk pernikahan dan yang lainnya, ia bekerja di berbagai tempat.

Memang gajinya tak seberapa, tapi Jungkook bersyukur karena bisa menabung dan pada akhirnya memiliki perusahan sendiri meski hanya sebuah perusahaan kecil yang membuka jasa desain interior. Namun, siapa sangka? Keberuntungannya justru ada di sana. Perlahan, jasanya mulai banyak digunakan dan Jungkook bisa menabung sebagian uangnya untuk biaya pendidikan triplets.

👶🏻👶🏻👶🏻

Tzuyu merapikan mainan-mainan yang berserakan. Bersama Nayoung, ia benar-benar mengembalikan kesan rapi yang ada pada ruangan itu sebelum keadatangan anak-anak.

Atensinya teralih saat ekor matanya mendapati 3 anak masih berdiri di depan. Ia lantas menoleh, mengerutkan dahi sebab triplets masih belum dijemput. Padahal, kemarin ayah mereka datang lebih cepat.

"Eonni, aku rasa mereka belum dijemput. Aku akan ajak mereka masuk," ujar Tzuyu kemudian beranjak. Ia tak mau jika sesuatu yang buruk terjadi pada mereka bertiga. Apalagi, saat ini banyak sekali kasus-kasus penculikan.

"Apa ayah kalian belum menjemput?" tanya Tzuyu sambil merendahkan tubuh. Mereka langsung menggeleng dengan wajah sedih, membuat Tzuyu mengusap satu persatu pipi tembam mereka. "Ayo masuk. Kita tunggu ayah kalian di dalam."

"Aku ingin pulang." Jisung mulai menangis, membuat Tzuyu dengan segera meraih tangan mungilnya.

"Mungkin ayah kalian agak terlambat menjemput. Kalian juga belum makan siang 'kan? Ayo masuk dulu. Di sini cukup panas." Tzuyu menggendong Jisung yang sudah telanjur menangis. Tak lupa, ia juga menggenggam tangan Jina dan meminta Jihyun untuk berpegangan dengan sang adik. Ia hanya punya 2 tangan. Tak mungkin ia menggendong dan menggenggam tangan 2 anak lainnya.

"Tzuyu, tolong jaga mereka. Aku harus segera ke rumah sakit untuk menemani Ibuku," ujar Nayoung sambil terburu-buru mengikat rambutnya. Ia sudah selesai merapikan semuanya. Kini, ia akan percayakan sisanya pada Tzuyu. "Jangan lupa kunci pintu nanti."

Mereka berempat menatap Nayoung yang buru-buru pergi. Namun, suara keroncongan dari perut Jisung, membuat mereka mengalihkan tatapan. Tentu, bagi anak seusia mereka, itu malah terdengar lucu. Bahkan, Jina sampai tertawa lepas. Namun, lain hal dengan Jisung yang justru kembali menangis.

"Ya ampun, jangan menangis. Maafkan mereka, ya? Itu tidak sengaja," ujar Tzuyu sambil mengusap halus punggung Jisung. Sungguh, ia malah merasa gemas karena tingkah mereka bertiga. Jina yang jahil dan Jisung yang cengeng, lalu Jihyun yang pendiam tapi tak pernah melewatkan kesempatan untuk menjahili kedua adiknya. Bahkan, saat bermain pun, Jihyun bisa diam-diam menjatuhkan tumpukan balok yang Jisung buat.

Lithe✅Where stories live. Discover now