#32 Lithe

778 146 22
                                    

Tzuyu menatap ponselnya, terkekeh saat tak mendapat lagi telepon dari nomor sang ibu. Ia lantas menegak kembali bir kalengan yang ia beli, membuat Joie memutar malas kedua bola matanya.

"Kau kemari untuk membantuku berpikir atau mabuk?" Joie meletakkan dokumen kasus itu. Lembar soal pelakunya sungguh tak bisa ia temukan. Namun, ada beberapa catatan mengenai saksi di sana. Ia harap, itu bisa membantunya menemukan pelaku.

"Joie, apa aku tidak lebih penting dari pada uang?"

"Aniyo, kau lebih berharga dari uang. Jika aku diberi pilihan antara kau atau harta, aku akan memilihmu."

Tzuyu kembali menegak bir itu. Sudah hampir habis satu kaleng. Kini ia membuka kaleng yang lain. "Seharusnya itu yang aku dengar dari ibuku. Dia hanya ingin uangku."

Joie membulatkan mata. Ia lantas duduk di samping gadis itu. "Kau menemukan ibumu? Ya Tuhan, aku ikut senang. Jadi bagaimana? Kau akan tinggal bersamanya?"

"Dia tidak menganggapku sebagai putrinya sejak aku tahu jika orang tuaku sudah lama bercerai." Tzuyu menatap lurus, wajahnya sungguh kosong, dengan mata yang mulai basah. Luka terbesarnya kembali teringat, membuat gadis itu tak bisa lagi menahannya. Andai bisa, ia juga ingin melakukan hal sama. Namun, seburuk apa pun wanita itu, ia tetap lahir dari rahimnya. Ia takkan pernah bisa melupakan fakta itu.

Joie mengusap halus kepala gadis itu. Ia tahu seberat apa hidup Tzuyu selama ini. Ia tak bisa bayangkan bagaimana Tzuyu menjalani hidup setelah kabur. "Tzuyu-ya, aku ada di sini, ibu juga. Kau tidak perlu khawatir."

"Aku membenci diriku karena tidak pernah bisa membalas apa yang ibuku lakukan padaku. Dia pergi saat aku sangat membutuhkannya. Lalu, sekarang dia terus meneleponku untuk sejumlah uang. Apa aku benar-benar bukan putrinya?"

"Stss, Tzuyu, aku yakin, sangat yakin jika suatu hari, dia akan benar-benar memelukmu. Mau kubantu? Aku bisa menemuinya atas namamu."

Tzuyu menggeleng sembari mengusap air matanya. "Aniyo, aku akan selesaikan masalahku sendiri."

"Kau juga membantuku untuk menyelidiki kasus ayahku. Aku juga harus membantumu. Kau ingat hari pertama kau tinggal bersamaku? Aku sangat senang karena selama ini aku hanya sendirian. Aku sudah menganggapmu sebagai saudaraku." Joie tersenyum kemudian mengusap pipi Tzuyu. "Aigo, tanpa menyebutnya saja, kita berdua terlihat mirip. Apalagi, soal minum."

Tzuyu terkekeh begitu mendengarnya. Ya, mereka berdua sama-sama tukang minum. Apalagi, saat masalah begitu runyam. "Sangat. Joie-ya, terima kasih. Kau memang selalu ada untukku."

"Bukankah itu fungsi seorang sahabat. Jika datang dan pergi sesuka hati, itu bukan sahabat."

Joie-ya, terima kasih, kau memang selalu menyingkirkan kesepian dalam hidupku.

👶🏻👶🏻👶🏻

Jungkook mengembuskan napas kesal. Sudah cukup. Ia takkan diam saja. Ini sudah tengah malam dan Tzuyu tak kunjung pulang. Bukan hanya itu, Tzuyu juga terus menolak telepon darinya. "Astaga, apa dia tidak bisa jika tidak membuatku khawatir? Ke mana dia pergi di jam seperti ini?"

Jungkook tak tahan. Ia lantas meraih kunci mobil, mencari keberadaan gadis itu meski ia tak tahu di mana Tzuyu berada sekarang. Namun, suara kode sandi dimasukkan, membuatnya urung. Ia yakin itu Tzuyu. Ia akan memarahi gadis itu karena pulang larut. Apalagi, sekarang Tzuyu adalah kekasihnya. Apa ia tak berhak tahu soal kegiatan gadis itu?

Jungkook melipat kedua tangannya, memasang wajah kesal agar Tzuyu mau meminta maaf. Namun, wajah Tzuyu yang agak berantakan, membuat raut itu berubah. Ia segera meraih bahu Tzuyu, menatapnya dengan tatapan penuh kekhawatiran.

Lithe✅Where stories live. Discover now