#23 A Hug

736 150 20
                                    

Tzuyu tersenyum sembari menyajikan makanan yang baru ia buat. Bukan menu mewah. Namun, semuanya terlihat lezat dengan asap halus masih mengepul. Memang hanya sup ayam dan nasi kepal yang disukai triplets, tapi Tzuyu bisa menyulap meja makan itu bak sedang di restoran mewah.

"Jisung-ah, kau sudah bangun?" Tzuyu segera menggendong balita dengan celana terangkat sebelah itu. "Apa tidurmu nyenyak?"

"Sangat." Jisung memberikan kecupan manis di pipi Tzuyu. Semalam memang hatinya sangat bingung. Namun, pagi ini ia begitu bahagia karena Tzuyu adalah orang pertama yang ia lihat. Ia tak peduli ibunya ada atau tidak. Yang terpenting, saat ini ada orang yang sangat menyayanginya. Yaitu Tzuyu.

"Sungguh? Baiklah, ayo cuci muka dulu." Tzuyu membawa balita itu ke kamar mandi. Satu hal yang akan ia lakukan di pagi hari adalah mencuci muka triplets. Wastafelnya terlalu tinggi, mereka takkan bisa meraihnya. Selain itu, mereka pasti akan bermain air atau terpeleset di kamar mandi jika dibiarkan.

Jisung terkekeh setelah Tzuyu mengusap air di wajahnya. Ia lantas menoleh, menunjukkan deretan gigi putihnya. "Bibi, sudah selesai?"

"Kita harus keringkan wajahmu dengan handuk." Tzuyu meraih sebuah handuk dengan warna biru. Segala hal di rumah itu memang begitu rapi. Bahkan, Jungkook merapikan handuk di kamar mandi sesuai warna. Tzuyu sampai merasa jika ia sedang di hotel.

"Cha, kau duluan ke meja makan. Bibi akan membangunkan Jina dan Jihyun."

"Aku akan bangunkan Ayah." Balita itu segera berlari kemudian meraih gagang pintu kamar sang Ayah. Ia lantas menghampiri sang Ayah yang masih asyik memejamkan mata. Padahal, biasanya ia takkan tidur senyenyak itu. Namun, entah kenapa ia mulai merasa tenang sekarang.

Jisung berusaha keras menaiki ranjang. Ia lantas melompat-lompat, menimbulkan guncangan yang tentu membuat sang Ayah bergumam. "Ayah, bangun."

Jungkook meregangkan otot tangannya. Namun, ia tak membuka mata. Ia kembali melanjutkan tidur hingga membuat balita itu mencebik. Ia mengepalkan tangan, memukul lengan sang ayah meski itu tak memberi efek apa pun. Terlebih, otot lengan sang ayah begitu kekar.

"Ayah."

"Biarkan Ayah tidur lebih lama sedikit saja."

"Bibi bilang sarapannya sudah siap. Ayo." Balita itu menarik tangan sang ayah kemudian terjatuh. Untung saja Jungkook segera bangun sehingga putranya tak terjatuh. Jika ia tak bangun, mungkin tangan Jisung bisa saja patah.

"Hampir saja." Jungkook lantas menggendong si bungsu. Tangannya mulai menjepit hidung Jisung. "Nakal. Untung saja kau tidak jatuh."

Jungkook memudarkan senyumnya. Ia menghentikan langkah kemudian mengintip di sela pintu yang terbuka. Ia lantas membukanya lebih lebar, segera mengerutkan dahi saat mendapati Tzuyu sudah berlutut sembari menggenggam kedua tangan mungil Jihyun, sementara balita itu terus menatapnya dengan wajah datar. Tak ada lagi raut bahagia saat melihat Tzuyu ada di sana.

"Ayo makan."

Jihyun menggeleng pelan kemudian melepas genggaman tangan Tzuyu. Ia berlari menuju sang ayah lalu memeluk kakinya. "Aku ingin telur goreng buatan Ayah."

"Waeyo? Bibi sudah membuat makanan kesukaanmu."

Jihyun masih kukuh dengan penolakannya. Ia menggeleng. "Aku ingin telur goreng saja."

Tzuyu memalingkan wajah untuk menyeka air matanya. Kalimat yang Jihyun ucapkan seolah tak mau keluar dari kepalanya. Kalimat itu terus ia dengar, membuat hatinya terus dihujam rasa sakit. Memang, ia tak punya hak merasa tersakiti. Namun, penolakan dari Jihyun sungguh membuat hatinya hancur.

Jungkook segera mengajak Jihyun, meninggalkan Tzuyu sendiri di sana. Ia tahu, Tzuyu pasti membutuhkan waktu sendiri. Ia akan membuat triplets makan dulu sebelum bicara pada gadis itu.

"Aku tidak ingin Ibu. Aku ingin Ayah saja. Bibi tidak perlu jadi Ibuku, Jina, atau Jisung." Begitulah kalimat yang Jihyun lontarkan. Memang pada kenyataannya, itu benar. Namun, Tzuyu malah merasa sakit saat mendengarnya.

Tzuyu memukul dadanya saat rasa sesak mulai terasa. Meski ia berusaha menahan tangis, air mata itu seolah tak ingin berhenti jatuh, membuat Tzuyu akhirnya menyerah dan mulai terisak.

Andwae, Tzuyu. Suatu saat kau juga akan merasakan ini. Apa kau akan menangis seperti ini? batin Tzuyu. Ia memang harus selalu bersiap dengan berbagai bentuk rasa sakit yang akan menghadangnya. Terlebih, tak ada kepastian ia akan selalu bersama triplets. Suatu saat mungkin akan ada seorang wanita yang menjauhkannya dari 3 balita lucu itu.

Tzuyu menyeka air matanya, menguatkan diri dalam hati. Ia tak boleh terlihat menangis. Apalagi, di hadapan triplets. Namun, saat ia akan beranjak, nomor tak dikenal itu kembali menghubunginya. Tentu, ia merasa begitu kesal hingga mengangkatnya.

"Keumanhe, Eomma. Aku sudah sangat muak. Tinggalkan aku sendiri. Sama seperti saat kau memilih lelaki itu. Apa air mataku di pemakaman tidak cukup untuk membuat Eomma mau merangkulku? Apa aku begitu tidak penting? Jika soal uang lagi, tolong hentikan." Tzuyu mengepalkan tangan. Hatinya memang tak pernah tega mengatakan itu. Namun, ia masih merasa dendam, melihat bagaimana sang ibu pergi, menggenggam tangan pria lain di hari pemakaman sang ayah. Bahkan, wanita yang telah melahirkannya itu justru tak mendekapnya sekali pun.

Tzuyu membulatkan mata saat merasakan hangatnya dekapan seseorang. Meski ia berusaha melepasnya, lelaki itu justru semakin menguatkan kungkungan tangannya.

"Tidak perlu, aku tidak membutuhkan ini sama sekali."

"Menangis itu manusiawi, Tzuyu. Apa semuanya terlalu berat sampai kau lampiaskan pada soju? Mulai sekarang, kau bisa lampiaskan semuanya padaku."

"Sungguh?"

Jungkook mengangguk. Ia menyamankan diri dalam dekapan yang tak kunjung dapat balasan itu. Namun, ia segera mengerang saat rasa linu terasa di tulang keringnya. Lelaki itu berdiri dengan sebelah kaki, membuat Tzuyu segera tertawa.

"Aku selalu melakukannya setelah meminum soju. Kau tidak tahu?"

"Astaga, kau sangat kasar."

"Makanya, jangan menggombal padaku. Tidak akan berpengaruh, tuan Jeon." Tzuyu menjulurkan lidah, melipat kedua tangannya kemudian berlalu. Ia tak peduli pada Jungkook yang kini masih meringis karena tendangannya. Lagi pula, ia tak meminta lelaki itu untuk menggombal.

Jungkook memang masih meringis. Namun, saat Tzuyu menghilang dari penglihatannya, senyum segera terutas. Tak masalah jika Tzuyu selalu melampiaskan kemarahannya. Ia merasa kebahagiaan itu membuncah saat Tzuyu mulai tertawa atau tersenyum, seakan kebahagiaan gadis itu juga tanggung jawabnya.

"Tapi ... Apa masalahnya dengan ibunya?" gumam Jungkook. Ia sempat berpikir jika Tzuyu sudah tak punya orang tua. "Apa aku harus membantunya? Aku akan minta Heesung mencari tahu."

Jungkook melangkahkan kaki menuju meja makan. Dahinya berkerut saat tak mendapati Tzuyu ada di sana. Ia pikir Tzuyu pergi untuk ke meja makan. "Di mana Bibi Tzuyu?"

"Kursinya hanya ada emoat, Ayah." Jina menunjukkan angka 4 dengan jari mungilnya. "Bibi bilang, itu kursinya Ayah. Jadi, Bibi pergi keluar."

"Keluar?"

Jina mengangguk. "Tapi aku tidak tahu Bibi pergi ke mana."

"Astaga." Jungkook segera berlari. Namun, ia kembali saat ingat sesuatu, membuat triplets menatapnya dengan bingung. "Makan dengan benar. Jangan bertengkar, Ayah akan kejar Bibi Tzuyu."


👶🏻👶🏻👶🏻👶🏻👶🏻

13 Sep 2021

Lithe✅Where stories live. Discover now