#22 Dugaan yang Salah

723 149 27
                                    

Tzuyu berdecak saat terus menerima telepon dari nomor yang sama. Namun, ia memutuskan untuk tetap sama memperlakukannya. Yap, menolak. Ia memang tak menyimpan nomor itu dalam kontaknya, tapi ia ingat siapa yang menggunakan nomor tersebut.

"Selesai." Jina bertepuk tangan begitu kuku di tangannya sudah berubah. Ia kemudian menunjukkannya pada Tzuyu, membuat gadis itu terpaksa membuang jauh-jauh kekesalannya.

"Sangat cantik. Kau memang cerdas."

"Oppa, aku bisa membuat rasa sakitnya berkurang. Berikan tanganmu."

Jihyun yang kini ada di pangkuan Tzuyu, tentu segera menolak. Ia masih merasakan denyutan itu di jarinya. Ia tak mau jika Jina malah menambah rasa sakitnya.

"Percayalah padaku. Simpan tanganmu di sini." Jina menunjuk telapak tangannya yang terbuka, membuat Jihyun akhirnya mau mengikuti keinginan sang adik. "Ini seperti sihir."

Jina mulai memoles plester yang membalut telunjuk Jihyun. Dengan senyum manis, gadis kecil dengan mata bulat itu memasang stiker berbentuk hati di plester sang kakak. Selanjutnya, ia mengeringkan cat kukunya dengan pengering. Tak lupa, ia juga memberikan kecupan manis di sana. "Bagaimana?"

Jisung mengulurkan tangannya juga dengan wajah cemberut. "Aku juga."

"Biasanya kau tidak mau. Kau terus mengatakan aku jahat," kesal Jina. Ia segera membereskan cat kukunya, membuat bibir anak laki-laki bergetar sebelum akhirnya menangis.

"Jangan menangis. Baiklah, Jisung juga mau? Bibi yang akan melakukannya. Ayo, letakkan tanganmu di sini." Tzuyu menepuk meja, membuat Jisung akhirnya berhenti menangis. Tentu saja, bagi Tzuyu ini malah terkesan menggemaskan. Apalagi, saat Jisung mulai diam dan duduk sembari meletakkan tangan mungilnya di atas meja.

"Tapi Jisung harus potong kuku dulu. Tidak apa-apa 'kan?"

Jisung menatap kuku jarinya yang penuh dengan tepung. Ini memang salah satu caranya agar Jisung mau memotong kuku. Tadi siang anak laki-laki itu menolak. Padahal, Jihyun dan Jina sudah memotong kuku mereka. Namun, lain halnya dengan Jisung. Ia malah bersembunyi di dalam lemari saat Tzuyu akan memotong kukunya.

"Tidak mau."

"Hasilnya tidak akan bagus jika kuku Jisung kotor. Kemari, Bibi akan potong kukumu lalu Jina akan mewarnai kukumu. Bagaimana?"

Dengan pasrah Jisung memberikan tangannya. Ia tak ingin melewatkan kesempatan mencoba cat kuku milik sang kakak. Apalagi, Jihyun juga mencobanya.

"Kau tahu? Jika kukumu panjang, akan banyak kuman. Bagaimana jika kau sakit lagi?"

"Rasanya sakit."

"Tidak, Bibi akan memotongnya pelan-pelan. Kenapa kau harus takut dengan gunting kuku?" Tzuyu sebenarnya sudah memotong kuku Jisung sejak tadi. Ia mengajak anak itu mengobrol agar Jisung lupa soal ketakutannya. Jika tidak, ia yakin Jisung malah akan protes.

"Ayah!" Teriak Jina kemudian menghampiri sang Ayah. Ia tersenyum saat Jungkook menggendongnya lalu mengecup pipinya. "Ayah, maafkan aku."

"Untuk apa? Ayah tidak marah padamu," ujar Jungkook kemudian mencubit pelan pipi tembam Jina. Ia lantas menurunkan putri kecilnya, berjalan menuju kamarnya untuk mengambil foto pernikahannya dengan Soojin. Ia sudah mempersiapkan rasa sakit yang mungkin akan dirasakan saat menjelaskannya. Namun, ia takkan mundur kali ini. Sudah sepatutnya triplets tahu soal ibu mereka.

"Cha, kemari." Jungkook duduk di lantai, meletakkan jasnya di atas meja lalu memangku foto berukuran besar itu. "Kalian tahu ini siapa? Ini ibu kalian. Cantik 'kan?"

Triplets masih terdiam, menatap foto itu. Namun, tak berselang lama mereka kemudian menatap Tzuyu seolah menegaskan jika ibu mereka ada di sana.

Lithe✅Where stories live. Discover now