19. Handwritten

29 4 0
                                    

Vote dulu.

Komen dulu.

Share kemudian.

Happy reading~~







Pukul sepuluh pagi di hari weekend Mama Lana mendapatin Lana masih bergelung dibalik selimutnya. Matahari sudah semakin naik tinggi, sinarnya yang hangat langsung menembus lapisan kaca jendela tepat ketika tirai gorden ditarik oleh Mama.

"Lan, matahari udah nusuk pantat kamu loh. Biarpun ini hari weekend anak gadis gak bagus loh bangun kesiangan!" kata Mama sembari menarik selimut Lana yang menutupi wajah gadis itu.

Sementara itu, Lana terlihat mendengus pelan. "Minggu ini aja Ma, biarin Lana bangun kesiangan, biarin Lana sendirian. Jangan ganggu Lana."

Mama semakin menarik selimut Lana membuat anaknya itu berdecak pelan. "Emangnya kamu enggak pergi ke luar hari ini?"

"Emangnya aku mau pergi kemana coba?nggak ada, aku dirumah aja hari ini."

"Biasanya pergi kencan sama pacar kamu atau enggak pergi keluar sama Rean."

Gadis yang ditanya mendengus keras, matanya masih enggan untuk terbuka dan kalau mata bisa mengontrol tubuh pemiliknya mungkin sekarang mata Lana akan mengontrol tubuh Lana untuk kembali tertidur. Ah, tapi itu mana mungkin, itu hanya pemikiran random orang-orang yang suka rebahan dan malas bangun pagi.

"Mereka berdua nggak ada, Ma."

"Nggak ada? Emangnya mereka kemana?" tanya Mama.

"Mati kali!" cetus Lana.

Mama langsung melotot dan mencubit pelan lengan anaknya. "Sembarangan ya mulutnya, noh orangnya ada didepan kamar kamu loh!"

"Siapa?" tanya Lana.

Gadis itu refleks membuka matanya dan langsung menegakkan tubuhnya ketika Mama menyebut nama orang yang saat ini sedang berdiri didepan pintu kamarnya.

"Rean."

*****


"Dirumah sakit mana? Kenapa nggak kasih tau aku? Segitu gak pentingnya aku buat kamu, Re?"

"Lan, maaf. Ini mendadak banget dan aku juga gak tau kenapa om Theo gak ngasih tau kamu dimana rumah sakit tempat aku operasi." sanggah Rean.

Lana terlihat mendesah pelan, gadis itu merotasikan bola matanya malas. "Aku sahabat kamu Re, kita udah kayak saudara dan kamu gak tau seberapa besar aku ngekhawatirin kamu pas aku denger kamu operasi transplatasi hati."

Gadis itu memberi jeda, terlihat menyenderkan punggungnya dikursi. "Aku uring-uringan selalu mikirin kamu yang gak ada kabar ditambah sama kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi dan yang buat aku negative thingking takut operasi kamu gagal."

Rean langsung menoleh pada Lana dan mengambil kedua tangan gadis itu. "Kamu liat kan aku baik-baik aja, aku udah sembuh, Lan. Tolong kamu jangan takut lagi." sanggah Rean, laki-laki itu menatap kedua netra Lana yang sangat cantik disiramin cahaya matahari terbenam yang dipantulkan oleh air danau yang jernih.

Lama laki-laki itu menatap kedua pedar mata yang menenangkan itu dan setiap kali laki-laki itu menatap kedua manik obsidian yang menenangkan itu rasanya ia ingin jatuh kedalam samudera yang luas itu, sangat menenangkan dan damai.

"Sekarang apa yang aku takutin? Masih ada, Re."

Rean menaikkan satu alisnya.

"Lupus kamu?" tanya Lana. "Operasi transplatasi hati kamu berhasil, oke itu melegakan, tapi sesaat Re tetap aja aku belum lega."

"Nggak usah mengkhawatirkan penyakit lupus aku, Lan. Perlahan juga aku bakal sembuh kok." kata Rean.

"Selalu bilang gitu tapi nanti tiba-tiba ngedrop lagi, buat cemas tau gak?!"

Dan ahli-ahli cemas Rean justru terkekeh kecil. "Seharusnya kamu tau kenapa aku selalu ngomong gitu karena aku gak mau bikin kamu cemas tapi ada aja manusia yang selalu ngadu kekamu kalo aku lagi ngedrop, sialan banget gak sii padahal aku gak mau kamu tau!"

"Makasih banget buat orang yang selalu ngadu ke aku tentang kondisi kamu." Air muka Lana terlihat kesal. "Kalo kamu masih kayak gitu lagi Re, aku bakal berhenti buat peduli sama kamu la—"

Rean tiba-tiba menarik tubuh Lana, membawa tubuh gadis itu kedalam dekapannya. "Maaf. Tolong jangan berhenti buat peduli sama aku, aku butuh kamu Lana."

Lana tidak tau harus berkata apa selain membalas pelukan itu.

"Lan,"

"Hm?"

Perlahan Rean melepas pelukannya, laki-laki itu terlihat mengeluarkan secarik kertas dari saku celana jeansnya.

"Ini apa?" Lana mengambil kertas tersebut dan membacanya.

Dahi gadis itu mengeryit. "Ini tulisan tangan siapa?" sesaat gadis itu menimang-nimang. "Tulisan tangan ini kayak gak familiar dimata aku."

Sementara Rean terlihat mengangkat kedua bahunya tanda bahwa ia juga tidak tau. "Aku penasaran sama orang yang nulis ini."

"Dia orang yang donorin hatinya buat kamu?"

Rean mengangguk pelan. "Aku gak tau siapa dia tapi aku ngerasa dia kenal sama aku, tapi siapa?" kemudian mendesah pelan. "Hah... Siapa pun dia aku berterimakasih banget dan aku berhutang budi sama dia karena telah nyelamatin hidup aku berkat dia mungkin aku bakal bisa hidup sedikit lebih lama didunia ini."

"Orang rumah sakit gak ngasih tau kamu siapa yang donorin hatinya buat kamu?"tanya Lana.

Rean menggeleng. "Kata Dokter orang itu hamba tuhan dan cuma nitipin surat ini doang buat aku."

Lana mengangguk kecil.

"Lan, aku bener-bener pengen tau siapa orang itu." kata Rean.

Lana hanya bisa mengangguk kecil sambil menatap tulisan tangan yang tidak familiar dimatanya, sebuah tulisan diatas kertas putih yang berisikan..

Cepat sembuh ... dan lo harus sembuh! Gue gak cuma-cuma donorin hati gue buat lo, jangan mati sialan! Lo harus sembuh!

Dan tulisan itu sedikit mampu menohok hati Lana.















Bersambung...

Jenderal Dan Semesta [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang