34. Cicak Salto

34 7 0
                                    


Selamat membaca 😊

.

.

.

.

Jenderal memejamkan kedua matanya tepat ketika sinar matahari pagi menyiramin wajahnya, dibawah pohon mangga yang mulai berbunga ia menyandarkan tubuhnya disisi pohon berwarna coklat ketuaan itu, sesekali angin sejuk membelai lembut kulitnya.

Sembilan hari telah berlalu dan kini Jenderal sudah merasakan tubuhnya lebih baikan sejak empat hari yang lalu, dan sejak saat itu kedua sohibnya—– Ajun dan Shaka—– selalu menemani laki-laki itu.

Lana? Tidak ada kabar dari gadis itu dan Jenderal semakin merindukan gadis itu, dia merindukan senyum gadis itu yang selalu terbayang ketika dia menutup kedua matanya ketika hendak tidur.

Dia menghela napas, selang beberapa detik setelahnya dia merogoh saku jaket denimnya dan mengambil sebuah benda pipih berwarna hitam. Dia buka ikon kamera kemudian mengarahkan ponselnya kearah langit yang bersih tanpa awan, selanjutnya laki-laki itu meng-upload hasil jepretannya ke- story media sosialnya dengan caption,

Emangnya boleh serindu ini, Nona?

Dia tersenyum tipis kemudian kembali menyandarkan punggungnya kesisi pohon. Lengang beberapa menit tiba-tiba ponselnya berdenting awalnya dia enggan untuk mengecek pesan yang barusan masuk dia pikir itu pesan konyol dari Ajun atau mungkin Shaka, Jenderal malas meladenin kedua teman konyolnya itu.

Tapi, meski begitu menit berikutnya dengan malas dan agak terpaksa dia akhirnya mengecek pesan masuk tersebut. Dia melotot dan tidak perlu waktu lama kedua sudut bibirnya terangkat sempurna keatas ketika seseorang me—reply storynya.

Alana 🌻
|Kenapa tidak boleh? Aku lebih merindukanmu, Tuan.

*****

Pukul tiga sore hujan deras menguyur Ibukota, udara dingin menyelimutin kota yang mulai lengang dari hiruk pikuk orang-orang yang berlalu lalang didalamnya.

"Emangnya sebelum kesini gak lihat prakiraan cuaca dulu?"

Lana menoleh kemudian mengeleng. "Enggak. Emangnya kenapa?"

"Harusnya lihat dulu biar kamu gak kehujanan kayak gini, lagian ngapain kesini bawa motor sendiri?!" omel Jenderal.

Lana mengosokan kedua tangannya. "Ribet ah kalo harus lihat cuaca dulu, Lagian salah BMKG lah kenapa gak umumin kalo sore ini bakal hujan lebat."

"Kan udah diumumin kamunya aja yang gak lihat." Jenderal dengan telaten mengeringkan rambut Lana yang basah dengan handuk kering.

"Kalo harus lihat prakiraan cuaca dulu nanti malah tambah kelamaan kan aku udah rindu berat sama seseorang!"

"Seseorang itu siapa?" tanya Jenderal.

"Seseorang dengan inisial Jenderal."

Jawaban Lana membuat senyum Jenderal mengembang. "Aku juga rindu dengan gadis berinisial Lana."

Lana tertawa kecil.

"Kamu tunggu sebentar ya, aku buatin kopi biar tubuh kamu lebih hangat." Jenderal beranjak dari duduknya.

"Biar aku aja, Jen."

"Kamu tamu disini masa tamu buat kopi sendiri?!"

"Aku pengen buat kopi buat kamu."

"Tapi aku lagi gak boleh minum kopi."

"Tapi nemenin aku minum kopi bisa kan?" tanya Lana.

"Bisa."

"Kamu gak boleh minum kopi karena masih sakit?"

"Sedikit, tapi udah baikan."

"Kaki kamu bisa jalan?"

Jenderal terkekeh pelan. "Ya jelas bisalah, kamu pikir aku lumpuh."

"Berarti bisa jalan dong."

"Hm?"

"Bisa jalan sama aku sambil nemenin aku minum kopi."

"Aku pikir-pikir dulu deh." Jenderal berlagak sok jual mahal.

"Ini kita minum kopinya di cafe yang lagi viral itu loh, " Lana menjeda seraya tersenyum jenaka. "Denger-denger cicak disana bisa salto loh."

Spontan Jenderal tertawa kecil. "Emangnya iya? Kamu udah pernah liat sendiri?"

"Pernah. Pakai mata kaki aku sendiri!" Lana mengangguk yakin.

Jenderal menggeleng, tidak habis pikir.

"Jadi gimana?"

"Sampe segitunya kepikiran ngasih alasan supaya aku ikut."

Tersenyum kecil, Lana berdeham pelan. "Jadi kamu mau 'kan nemenin aku ngopi? Sebagai gantinya kamu bisa lihat cicak salto."


















Bersambung....

Jenderal Dan Semesta [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang